Basket

971 85 6
                                    

Sore hari kediaman keluarga Dewangga terlihat tenang, seperti biasanya. Sebagian penghuni rumah lebih memilih beraktivitas di kamar masing-masing dibanding kumpul bersama di ruang keluarga. Jarang sekali ruang keluarga diisi untuk kumpul bersama.

Anjani, perempuan yang terlihat nyaman dengan celana kulot hitam beberapa senti di bawah lutut dipadukan dengan crop top berwarna putih tampak duduk nyaman di ruang keluarga. Ia merupakan satu-satunya anggota keluata Dewangga yang betah menghuni ruang keluarga. Tidak banyak aktivitas yang ia lakukan, paling hanya sebatas menonton televisi atau menghabiskan waktu seharian untuk belajar.

Hari ini Anjani tidak sendirian, semenjak pulang sekolah beberapa jam yang lalu, ia menempati ruang keluarga ditemani oleh sang mama yang pulang lebih awal. Anjani terlihat nyaman membaringkan kepalanya di atas pangkuan sang mama sambil membaca ulang materi yang ia dapatkan di sekolah. Sang mama sendiri tengah sibuk membaca katalog perhiasan sambil sesekali meninggalkan usapan lembut pada puncak kepala anak gadisnya.

Dua orang yang tengah berbagi kasih tersebut sayangnya tidak menyadari jika ada sepasang mata yang menatap iri ke arah keduanya. Aruha berdiri diam menatap hangatnya interaksi seorang ibu pada anak perempuannya. Perempuan menyedihkan tersebut selalu membayangkan betapa bahagianya ia jika ada di posisi Anjani saat ini.

"Ma," panggil Anjani.

"Ya?"

"Kalau aku menang olimpiade nanti aku boleh liburan ya?"

Nadin menunduk, menatap sang putri yang juga tengah menatapnya. "Kamu mau liburan kemana?"

Ke surga, batin Anjani.

"Emm ke Bali mungkin?" celetuk Anjani asal.

"Boleh, nanti biar Mama bilang sama Papa ya."

Anjani tersenyum senang. Ia kemudian bangkit dari pangkuan Nadin karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tandanya ia harus segera bersiap untuk mengikuti les hari ini. Ketika melirik ke arah dapur, netranya tidak sengaja bertemu dengan netra Aruna yang tengah menatap ke arahnya.

Anjani melihat jelas tatapan penuh rasa cemburu milik Aruna. Perempuan yang lahir selisih beberapa menit darinya bahkan tidak mengalihkan pandang saat Anjani memergokinya. Aruna terlihat, hampa.

"Jani, kok bengong?"

Anjani buru-buru menahan tubuh Nadin agar tidak mengikuti arah pandangnya. Ia berusaha sebisa mungkin mengambil alih atensi sang mama. Anjani hanya tidak ingin mamanya melihat keberadaan Aruna dan merubah sikapnya dalam hitungan detik.

Sayangnya tindakan Anjani disalah artikan oleh Aruna. Perempuan yang kini berdiri ditemani Langit mengalihkan pandang dengan perasaan terluka. Ia merasa Anjani tidak ingin membagi perhatian sang ibu, Anjani bahkan dengan tega berusaha mengalihkan fokus sang mama.

"Si caper," gumam Langit ketika netranya menangkap apa yang dilakukan oleh Anjani barusan.

Langit melirik Aruna yang terlihat mendung, adiknya bahkan tidak lagi memperhatikan interaksi Anjani dengan sang Mama. Anak laki-laki kedua keluarga Dewangga merangkul pundak sang adik, berusaha memberi tahu pada adiknya bahwa ia ada di sana, di dekat sang adik dan siap diandalkan kapanpun.

"Jalan yuk?" tawar Langit.

"Kakak ngga iri kah liat Anjani sedeket itu sama Mama?" tanya Aruna mengabaikan tawaran sang kakak.

Langit tertegun. Iri ya? Kalau boleh jujur Langit sangat iri, tetapi jika mengingat Aruna yang haus kasih sayang, Langit jauh lebih merasa sakit hati atas sikap dua orang dewasa yang tidak pernah adil pada anak-anaknya.

"Runa iri banget, Kak," lanjut Aruna. "Runa juga mau dipeluk Mama, mau disayang Mama. Runa mau dibuatin masakan kesukaan Runa sama Mama, Kak."

Langit tidak mendebat, ia juga tidak memberikan kata-kata manis yang sifatnya sementara. Laki-laki berambut ikal tersebut memilih mengeratkan rangkulan, kemudian meninggalkan kecupan ringan pada puncak kepala sang adik.

cowardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang