"Lo demam."
Suhu dingin dari telapak tangan milik Jenggala yang bertengger di kening Anjani terasa. Anjani memejamkan mata, meresapi kesejukan tangan Jenggala di tengah hawa panas dalam dirinya.
"Kenapa maksa masuk hari ini? Lo kan bisa istirahat kalau nggak enak badan." Jenggala berujar sambil menarik tangannya. Ia menatap Anjani yang terbalut jaket denimnya dengan tatapan teduh.
"Nggak diizinin sama Papa," jujur Anjani. Tubuhnya terasa panas akibat hawa panas dalam dirinya.
"Lain kali jangan dipaksa. Papa lo pasti ngerti kalau lo nggak enak badan."
Anjani tersenyum getir, berharap ucapan Jenggala bisa menjadi kenyataan. Karena nyatanya, papanya hanya peduli pada nilai Anjani. Papanya tidak peduli pada kondisi putrinya.
"Iya, La," jawab Anjani singkat.
"Yaudah, masuk gih. Kalau ada apa-apa hubungin gue lagi." Jenggala mengusap singkat kening Anjani, lalu kembali memasang helm yang semula ia lepas.
"Gue cabut ya, Ra. Selamat istirahat," pamit Jenggala sebelum akhirnya melajukan motornya tanpa menunggu respon Anjani.
Anjani menghela napas berat, kemudian berjalan gontai memasuki rumah. Tubuhnya terasa hampir remuk. Rasa pusing, panas, dingin, dan mual menjadi satu. Telinganya bahkan mulai berdenging sekarang.
Saat melewati ruang keluarga, bisa ia lihat Langit dan Laut tengah bermain play station. Sementara Angkasa di sofa terlihat tengah serius berkutat dengan laptopnya. Seolah menganggap sang adik angin lalu, ketiganya hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada kegiatan masing-masing.
Anjani tidak ambil pusing, ia mempercepat langkahnya menuju lantai dua. Ketika hendak masuk ke dalam kamar, netra Anjani teralih pada pintu kamar Aruna yang terbuka sedikit. Anjani memutuskan mengintip, menemukan tubuh kembarannya yang tengah terlelap nyaman dalam balutan selimut.
Lo emang harus hidup nyaman, Na. Jangan terus berharap ada di posisi gue. Jangan. Rasanya hampir mau mati, setiap saat. Batin Anjani berbicara.
Melepas jaket denim milik Jenggala, Anjani memasuki kamar Aruna dengan langkah perlahan. Netranya kontan mengembara, menatap kamar sang kembaran yang tidak banyak berubah. Hanya saja terdapat beberapa lukisan mengisi ruang kosong di dinding.
Anjani lanjut berjalan menuju sisi kosong kasur setelah melepas tas sekolahnya. Ia dengan hati-hati ikut merebahkan tubuhnya di kasur Aruna. Rasanya sudah lama sekali tidak seperti ini.
"Na." Anjani memanggil Aruna dengan suara lirih. Ia mengamati wajah damai kembarannya yang tengah terlelap.
"Maaf ya."
Maaf. Ungkapan permintaan ampun penuh penyesalan Anjani ucapkan. Bukan hanya perkara ia membuat Aruna jatuh, permintaan maafnya luas. Seluas segala macam rasa sakit yang ia berikan untuk Aruna.
"Aku tau nggak seharusnya aku ngeluh gini, tapi aku beneran cape banget, Na." Anjani meringkuk. Inginnya memeluk tubuh Aruna, tetapi Anjani tidak ingin membuat tidur nyaman sang kembaran terusik.
"Aruna jangan kemana-mana ya. Maafin Anjani," gumam Anjani diiringi setetes air mata sebelum akhirnya ikut jatuh terlelap di samping sang kembaran.
•••
Perlahan, kedua mata dengan bulu mata lentik terbuka. Ia mengerjap berulang kali sebelum akhirnya tersadar sepenuhnya melihat sosok sang kembaran tertidur tidak nyaman di sampingnya. Kening Aruna mengernyit, menatap tidak percaya ke arah Anjani yang terlelap dalam balutan seragam sekolah.
Sejak kapan?
"Jani?" Aruna menggeser tubuhnya kala mendengar racauan dari mulut Anjani.
Kedua mata Aruna membola merasakan suhu panas dari tubuh Anjani. Seragam putih yang membalut tubuh Anjani dipenuhi keringat, tetapi kembarannya terlihat kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
coward
Teen FictionKembaran Anjani mengatakan, Anjani hanyalah gadis picik yang merebut orang-orang tersayang dari sisinya. Ketiga kakak laki-laki Anjani mengatakan hal serupa. Mereka bilang, Anjani tidak lebih dari gadis pengemis perhatian dalam keluarga mereka. Pada...