"Kalau aku menang di olimpiade nanti, aku mau Papa sama Mama dateng ke pertandingan Runa, gimana?"
•••
Ruang pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, atau yang lebih sering disebut sebagai perpustakaan menjadi salah satu tempat favorit siswa SMA Nusa Bangsa. Di luar dari kelengkapan buku, fasilitas yang disediakan ditambah suasana hening nan sejuk membuat para siswa betah berlama-lama di sana. Selain belajar, banyak juga siswa yang memanfaatkan perpustakaan untuk menikmati tidur siang.
Bagi Anjani, perpustakaan menjadi tempat paling nyaman untuk tidur dibanding tidur di kamarnya. Ia bisa dengan tenang tertidur tanpa harus banyak berpikir mengenai masa depan dan segala hal rumit yang harus ia hadapi. Anjani juga bisa bersantai tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang.
Saat ini, perempuan yang membalit seragamnya dengan cardigan abu berjalan menelusuri rak buku. Jemarinya menyentuh punggung buku, mencari buku yang dibutuhkannya untuk mengerjakan soal latihan persiapan olimpiade. Pasalnya, tadi saat istirahat, guru pembimbing memanggil Anjani dan menyerahkan tumpukan soal latihan olimpiade yang dapat menjadi acuannya untuk belajar.
Kala sebuah buku ditarik oleh Anjani, buku di rak seberang juga tertarik, sebuah space kosong tersisa, menampilkan sesosok laki-laki yang kontan menatap Anjani. Anjani tersenyum kecil saat mengetahui siapa sosok di seberangnya. Secepat kilat, gadis dengan gaya ikatan cepol berjalan memutar menuju rak di mana Jenggala berada.
"Emang jodoh ga kemana ya, La," goda Anjani.
Jenggala mencoba bersikap tidak acuh, ia berjalan menuju sebuah meja meninggalkan Anjani. Tidak peduli keberadaannya tidak di anggap, Anjani bergegas menyusul Jenggala dan duduk anteng di sebelah Jenggala. Satu tangannya menopang dagu sambil memperhatikan Jenggala.
Anjani tidak tahu sejak kapan ia menjadi seagresif ini, mungkin penolakan Jenggala ditambah Jenggala yang mendiamkan Anjani selama seminggu membuat Anjani mempunyai tekad baru.
"Tugas Pa Mamet, La?" Anjani bertanya setelah mengintip lembar catatan Jenggala.
"Iya." Jenggala akhirnya bersuara.
Anjani tersenyum kecil, netranya mengamati raut serius Jenggala yang terlihat kesulitan. Jenggala mau diperhatikan dari sudut manapun akan terlihat tampan dan mempesona bagi seorang Anjani. Terkadang Anjani heran, apa yang membuat Anjani sejatuh ini pada sosok menyebalkan seperti Jenggala.
"Bukan B, C itu jawabannya," tutur Anjani saat melihat Jenggala ragu-ragu memilih jawaban.
Decakan Anjani keluar saat Jenggala tidak mendengarkan ucapannya. Tangannya menarik buku coretan Jenggala, dengan santai ia menulis rumus dan menghitung dengan cepat. Setelah mendapatkan hasil, ia mengembalikan buku pada pemiliknya.
"Kenapa sih, nggak percayaan banget sama gue," heran Anjani sambil membanting tubuhnya pada sandaran kursi empuk perpustakaan.
"Rumusnya di buku yang baru lo ambil. Mulai dari halaman lima belas," tutur Anjani sebelum sibuk dengan lembar latihan soal olimpiade.
Anjani dan Jenggala kini sibuk dengan tugas masing-masing. Anjani sudah duduk anteng dengan kacamata terpasang apik di wajahnya. Sesekali desisan keluar dari mulutnya saat gagal menghitung atau salah menggunakan rumus.
Olimpiade MIPA benar-benar akan membunuhnya.
Sekitar tiga puluh menit, Anjani mulai jengah mengerjakan soal latihan. Ia memilih meletakkan pensilnya di atas lembar soal yang sudah tergeletak di meja. Netranya teralih pada Jenggala yang terlihat gelisah.
"Masih belum selesai?"
"Belum," jawab Jenggala dengan singkat karena ia tengah fokus dengan soal di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
coward
Teen FictionKembaran Anjani mengatakan, Anjani hanyalah gadis picik yang merebut orang-orang tersayang dari sisinya. Ketiga kakak laki-laki Anjani mengatakan hal serupa. Mereka bilang, Anjani tidak lebih dari gadis pengemis perhatian dalam keluarga mereka. Pada...