22 - Epilog

56 6 71
                                    

Satu minggu kemudian ...

"Kena kau!" seru gadis ini, kemudian tertawa-tawa melihat pria yang duduk beberapa meter di hadapannya terkejut terkena lemparan bola saljunya.

"Inayat," Pria itu berdiri dan pura-pura kesal, kemudian menyeringai dan mulai mengejar Inayat yang spontan berlari sambil terus tertawa.

"Vikram, berhenti!" Inayat terus berlari, berupaya menghindari Vikram yang mulai dekat.

"Hap, kena kau!" Vikram langsung menangkap Inayat dengan cara memeluknya. Lantas mereka kembali tertawa.

Selesai dengan itu, mereka berdua saling berhadapan. Inayat mengalungkan tangannya di leher Vikram, sementara Vikram memeluk pinggang Inayat.

"Sekarang apa?" tanya Inayat tanpa mengalihkan tatapannya.

Vikram mengedikkan pundak. "Apa lagi? Ini dunia kita. Tidak ada Pak Mohit di sini," kekehnya di akhir kalimat.

"Tapi bisa saja dia menemukan kita," Inayat mengerucutkan bibirnya.

"Itu tidak mungkin. Orang kan selalu mencari barang hilang di tempat yang jauh." Vikram kembali tertawa, membuat Inayat geleng-geleng.

Selama beberapa detik, mereka saling diam bertatapan. Tempat yang sejauh mata memandang hanya tampak hamparan salju dan beberapa pohon yang juga dipenuhi salju itu seolah tak terasa dinginnya bagi mereka.

Beberapa detik selanjutnya lagi, Inayat menyeringai. Tanpa aba-aba, ia mempersempit jarak antara dirinya dan Vikram. Pria itu membelalak seketika, sementara ia malah tersenyum nakal dan semakin mendekatkan wajahnya.

"Inu, jangan di sini, nanti ada yang lihat," kata Vikram sambil memejamkan mata rapat-rapat.

"Ish, seharusnya itu dialogku," rajuk Inayat.

"Ekhem! Sudah dulu romantis-romantisannya, bisa kita pergi sekarang?"

Keduanya secara bersamaan menoleh ke sumber suara, di mana Akansha dan Vishal berdiri beberapa meter dari mereka. Pasangan suami istri itu membawa koper, lalu seperangkat pakaian dan perlengkapan musim dingin yang melekat di tubuh mereka dari ujung kaki sampai kepala.

"Mau ke mana?" tanya Inayat.

"Nah, kan, lupa lagi. Otakmu itu rupanya sudah penuh dengan Vikram, ya?!" Akansha berkacak pinggang.

"Aku tidak lupa, hanya tidak ingat---eh maksudnya tidak tahu," Inayat beralasan.

Akansha berdecak, "Mau memberi ending pada kisah cinta kalian, lah. Memangnya apa lagi?"

"Kisah cinta itu tidak memiliki akhir, Akansha," celetuk Vikram dengan santainya.

Akansha dan Vishal saling tatap dengan kening sama-sama berkerut. "Lalu?"

-
-
-

Di belahan dunia lain, Mohit, pria itu menutupi kepalanya dengan bantal. Ini sudah pagi. Di luar sana matahari mulai menampakkan diri, tetapi Mohit masih seperti tak mau beranjak dari tempat tidurnya. Kamarnya yang biasanya terang-benderang kini gelap. Ya, mungkin gelap seperti hidupnya.

Seharusnya, Mohit merayakan keberhasilannya mengungkap kasus pertamanya ini. Namun, semua itu menjadi tak sesuai rencana karena dia telah salah. Dia gagal. Dan dia kalah.

Karena itulah, Mohit memilih untuk mengundurkan diri dari kepolisian. Ya, keputusan yang ekstrem, tapi mungkin itulah keputusan terbaik saat ini. Itu juga sebagai hukumannya, sekaligus ia ingin menenangkan diri.

Satu minggu yang lalu, ia tiba di Delhi selang satu jam saja. Namun, itu sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat. Ia memang sudah mengatakan pada Raghav untuk menutup semua akses ke luar kota, Raghav pun sudah melakukan itu. Hanya saja ia lupa, siapa 'orang besar' yang mendukung Inayat dan Vikram. Mereka berdua tidak pergi dengan kendaraan umum seperti pesawat atau kereta, tetapi helikopter milik Ayah Akansha.

Drrttttt drrrtttt...

Mohit berdecak, kemudian dengan kesal menyingkirkan bantal yang menutupi kepalanya. Ponselnya ini memang selalu mengacau, padahal ia ingin menenangkan diri. Ah, tidak, bukan menenangkan diri, tetapi menikmati rasa shock-nya yang tak habis-habis sejak seminggu lalu.

Melihat nomor asing di layar ponselnya, Mohit mengernyit. Walau malas, tapi ia tetap memilih menerima panggilan itu.

"Halo?"

"Halo, Pak. Aku ingin melaporkan kasus pembunuhan," ucap seseorang dari ujung telepon dengan suara dinginnya.

Mohit refleks melompat dari tempat tidurnya dengan mata membelalak lebar. "Apa?! Pembunuhan? Di mana?"

"Beberapa detik setelah ini, anak buahmu akan menjelaskan detailnya padamu. Sampai jumpa."

Deg.

Jantung Mohit seperti berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Tulang-tulangnya lemas, seakan tak lagi memiliki kekuatan untuk menopang tubuhnya. Apa ini? Pembunuhan lagi?

Mohit masih sibuk dengan rasa terkejutnya ketika ponselnya kembali berdering. Kali ini tertera nama Tambe di layarnya. Dengan kekuatan yang nyaris tidak ada, dia menempelkan benda itu ke telinganya.

"Halo, Tambe? Ada apa?"

"Pak! Kau harus segera kembali, terjadi pembunuhan lagi, Pak! Kau harus kembali secepatnya! Pak Harsh sendiri yang meminta, kau harus kembali, Pak!" seru Tambe dengan begitu menggebu-gebu dari ujung sana.

Dan Mohit yang benar-benar lemas hanya bisa bertanya dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, "Siapa? Di mana?"

"Korbannya orang yang dekat dengan Vikram!"

~THE END~

DELHI NIGHT (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang