prolog.

15 2 0
                                    

Dikisahkan pada sebuah langit malam yang menderu bagaikan garisan aksara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dikisahkan pada sebuah langit malam yang menderu bagaikan garisan aksara. Ada satu pasal sebagai hakikat akan takdir manusia. Pasal mengenai deretan luka, bahkan pasal mengenai runtutan bahagia.

Pada pasal tersebut, manusialah yang menjadi boneka kayu atas presensi itu. Entah presensi bahagia yang didapat manusianya setelah luka, atau sebaliknya, yakni presensi luka yang di peroleh setelah bahagianya.

Dan pada pasal itu. Wanita yang kini tengah membungkus tangannya dengan kain kasa tersebut mendapatkan bagiannya. Bagian dari pasal luka yang yang selama ini menghajar habis jiwanya.

Ia percaya mengenai mitos yang mungkin konon kata orang, "kau tak akan bahagia sebelum kau mencicip luka. Bahagia itu ada setelah badai datang."

Namun entahlah, deretan kalimat itu adalah kebenaran atau hanyalah sebuah mitos, seperti yang ia yakini selama ia hidup di belantara duri semestanya.

Badai yang mengguyur kehidupannya tak kunjung reda. Entah sampai kapan, wanita itu tak mengerti. Sampai ia terjatuh sebab pasrah atau sampai pada ia yang kalah telak akan harapannya sendiri.

"Kau sudah selesai, nak?"

Wanita yang sedari tadi menjatuhkan titik fokus pada tangannya yang kini telah terbalut rapi oleh kain kasa itu mengangkat pandangannya.

Didapatinya wanita tua dengan apron merah yang mungkin telah menjadi ciri khasnya. Rambut yang sebagian telah memutih dan keriput di bawah matanya. Wanita tua itu mendekat, sebelum atensinya beralih pada luka di tangan wanita yang bahkan telah ia anggap sebagai salah satu dari cucunya itu.

"Aigo!! Apa yang terjadi dengan tanganmu?"

Bukannya menjawab. Presensi yang tengah dijatuhi tanya tersebut justru menampilkan cengiran bodohnya.

"Tidak. Hanya luka kecil, bibi song"

Tak menghiraukan wanita itu. Wanita tua yang mendapati panggilan bibi song tersebut menarik tangannya. Sengaja memeriksa akan kebohongan bodoh yang wanita itu coba buat.

"Kau selalu saja tidak pandai berbohong, nak."

Berdecak sebal, wanita itu lantas bangkit sembari melepaskan apron yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya.

"Eyy. Ayolah. Ini hanya luka kecil. Bibi selalu saja berlebihan." Katanya sembari meraih tas juga mantelnya.

"Mau membawa pulang sisa teokbeokkie? Sepertinya sisa di dapur masih banyak." Kata bibi song dengan kaki yang perlahan melangkah ke arah dapur.

"Tidak perlu, bi. Aku sudah bosan dengan makanan asam itu." Katanya sembari menjatuhkan satu kecupan di dahi wanita tua bermarga song itu.

Bibi song tersenyum. Selalu saja seperti itu. Di samping kehidupannya dengan tiga orang anak yang mungkin sekarang sudah diboyong masing-masing oleh suaminya. Wanita bernama lengkap Song Jieun tersebut tinggal sendiri di rumah reyot yang menjadi saksi dari kedai teokbeokkienya semasa ia muda. Tinggal seorang diri kendati tak lagi bersama ketiga anaknya. Bibi song rupanya bersyukur berkat kehadiran seorang wanita yang datang kepadanya dulu di tengah hari hujan untuk melamar sebagai pekerja part time di kedainya.

EGLANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang