Chapter 6: Family

5 1 0
                                        

"Bagaimana kuliahmu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana kuliahmu?"

Zea tersenyum kecut. Wanita itu bahkan tak menjawab tanya daripada sang nenek dan menyibukkan diri dengan alat makan yang bahkan sedari tadi hanya ia gerakan untuk sekedar mengusir bosan.

Ia telah bersumpah untuk tak kembali menginjakkan kakinya lagi di sini. Namun pada situasi ini, Zea teramat sangat malu dengan mulutnya sendiri. Tempat ini adalah penjara. Sadis dan sangat menyeramkan.

"Zea. Nenek berbicara padamu." Ujar sang Ayah yang tak begitu diperdulikan oleh Zea.

Wanita itu terus berkutat dengan piringnya. Meski menyisahkan utuh seperti pada semula. Daging yang tersaji di atas meja tersebut bahkan tak disentuh sedikit pun oleh mulutnya. Makanan itu terlampau mahal. Dan tentu saja Zea tahu. Bahkan piring dan alat makan itu, Zea yakin bahwa semuanya mengandung emas sebagai lapisan luarnya.

Keluarganya memang sangat berada. Terlebih sang ayahlah yang mewarisi separuh dari harta neneknya tersebut.

Tertawa. Zea jelas tertawa.

Orang-orang di luar sana selalu berkata bahwa kau akan bahagia jika kau memiliki uang untuk membeli segalanya.

Konyol

Faktanya. Uang memang dapat membeli segalanya, namun ada satu yang tak dapat di beli dengan itu. Sebab uang tak akan pernah dapat membeli kebahagiaan.

Zea tidak ingin hidup dengan limpauan kekayaan seperti sekarang. Ia bahkan muak, melakukan segala hal yang baginya nampak seperti rantai besi di lehernya. Keluarganya hancur. Tak ada setitik kebahagiaan yang di dapat. Hanya kemewahan yang sengaja dibesar-besarkan. Namun untuk ketulusan, mereka justru tak memiliki itu.

"Lihatlah, nek. Cucu tersayangmu itu sekarang sudah mulai sombong." Ujar Gavin. Cucu kedua dari keluarga Lajendra.

Gavin pathi Lajendra.

Pria berdarah indonesia-australia tersebut memiliki kesibukannya sebagai penerus bisnis Ayahnya di US. Pemegang tahta tertinggi setelah Zea dalam pasal aset-aset berharga dan warisan. Terkadang hal itulah yang membuat Gavin menaruhnya rasa benci terhadap Zea.

"Zea. Kau harus menghormati nenekmu. Dia sangat sayang padamu. Hari ini adalah pembagian hak dan properti dari warisan nenek. Setidaknya kau berterima kasih pada nenek karena kau mendapat aset terbanyak darinya." Ujar sang Ayah yang berbalas senyum kecut dari Zea.

Perlahan-lahan, wanita itu mengangkat kepalanya. Di tatapnya wajah sang nenek yang kini mulai menua dengan umurnya yang tahun ini mulai memasuki kepala 7. Wanita tua itu sama, tidak berbeda seperti dulu. Selalu menghiasi lehernya dengan gemerlapan emas. Baju mewah, dan rambut yang sengaja ia sanggul di belakang.

"Bisakah aset-aset itu kutukarkan untuk membeli sebuah bahagia?"

Zea tersenyum kecut sembari menatap sekeliling. Wanita dengan balutan sweater tersebut tertawa. Benar bukan? Uang memang bukanlah segalanya. Toh mereka semua membisu. Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan Zea, sebab Zea tahu betul bahwa mereka sendiri pun tidak hidup dengan bahagia sebab aturan brengsek yang dibuat olehnya sendiri.

EGLANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang