-05- Bandung Malam Minggu (Sudut pandang Naila)

333 55 13
                                    

"Hai, Jangan ingin cepat dewasa. jangan berjalan tergesa, lalu bertemu masalah. karena sejatinya, Menjadi dewasa tidaklah mudah, Harus di paksa kuat meskipun sudah terjun bebas. Bebannya bukan hanya tentang bangun di pagi hari dan bernafas saja, namun juga tentang harapan-harapan manusia tentang harta dan tahta. Ya, Jangan ingin cepat dewasa. Berjalanlah sesuai ritme kehidupan, Pelan-pelan namun pasti menuju ketinggian, agar waktu dimana kau tumbuh besar, Dunia sudah pasti memihak.—RomantikaBumiPasundan

   .    ·    *    🌓˚
  ˚ * .
🪐     *  *   .
·  ˚      ˚ ˚   

[Happy Reading]

Semua orang pun tau jika Malam ini adalah malam minggu, malam keramat untuk para jomblo. Namun aku tidak peduli, Malam minggu adalah malam yang aku benci. Selain membuat macet dan keramain, malam ini juga identik dengan kasmaran. Di saat orang-orang meramaikan Street food di sepanjang jalan Lengkong atau Dipati Ukur, Aku memilih untuk membaca novel romansa ke sukaanku sambil menikmati Mie goreng rasa Rendang.

Drttt, drtt ...

Aku melirik pada layar ponsel yang menampilkan panggilan video call dari Amel. Mana mungkin anak itu membiarkan aku bermalas-malasan dengan tenang di malam minggu seperti ini. Aku bisa jamin jika dia berniat mengajak keluar biarpun hanya makan cuanki depan kost saja.

Dengan Pasrah aku menggeser tombol hijau bertanda mengangkat telfon Amel dari seberang sana. "Hal—"

"Buset, lama pisan ih ngangkatnya!!" Belum juga aku sempat mengucapkan salam pembuka, teriakannya sudah membuatku menutup mata dan spontan menjauhkan ponsel dari telinga.

"Kenapa?"

"Atuh, ayo keluar."

"Gak bisa, coy. Kucingnya ibuk kos ngelahirin."

"Terus hubungannya Apa, anjir?"

"Ya, gue, lagi ngejagain."

Dari seberang sana, aku mendengar Amel mendesis kasar, "Naha? Udah ganti profesi jadi dokter hewan?"

"Hahaha, Goblog!" Aku tertawa dan Amel juga.

"Sok atuh kadieu, Da Aku mah udah di depan ini."

Aku berlari dan meninggalkan ponselku begitu saja menuju ke arah balkon untuk memastikan apakah mahluk bernama Amel benar-benar ada di depan pagar, nyatanya memang benar, dia sudah duduk santai di sana bersama motor scoopy putihnya.

"Hai, besti." Amel melambai-lambaikan tangannya ke arahku, apakah dia tidak sadar jika sudah bersifat semenyebalkan ini?

"Fuck you!!" Bibirku berucap tanpa suara, namun tanganku tidak bisa tertahan untuk tidak mengacungkan jari tengah kearahnya.

Amel hanya tertawa sambil mengisyaratkan agar aku segera bergegas kembali ke kamar untuk bersiap. Dan aku lagi-lagi hanya pasrah karena bersedia menjadi bagian dari mereka yang membuat macet jalanan Bandung di malam minggu, seperti yang aku bilang tadi.

ROMANTIKA BUMI PASUNDAN | LEE HAECHAN |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang