-09- Sepenggal Cerita (Sudut pandang Gema)

237 39 6
                                    

"Sempurna itu sakit, oleh karena itu, sesekali berjalanlah apa adanya."
-Romantika bumi pasundan-

[Happy reading]

Saat ini aku berada di ruang studio keramik di lantai dasar Gedung Seni Rupa dan Desain. Aroma tanah liat segar menyelimuti atmosferku. Pelajaran hari ini adalah seni keramik, mata kuliah yang selalu kusambut dengan antusiasme setiap minggunya.

Di antara meja-meja kerja, tanah liat berbaris dengan rapi, menunggu untuk diubah menjadi karya seni. Sebuah roda keramik berputar di sudut kelas, menanti tangan-tangan kreatif untuk membentuknya menjadi wujud yang indah.

Dengan hati-hati tanganku memilih sepotong tanah liat untuk proyek yang baru saja disetujui oleh Dosen. Pertama-tama, aku meresapi tanah liat itu, merasakan teksturnya di ujung jari-jari, seakan aku adalah seorang seniman yang meraba alam untuk menemukan inspirasi.

Setelahnya, aku mulai membentuk tanah liat menjadi potongan-potongan yang halus dan simetris. Di sampingku juga terdapat teman-teman sekelas yang terlihat sibuk, masing-masing menciptakan karya mereka sendiri dengan gaya berbeda.

Selama proses penciptaan karya, aku membiarkan imajinasi melayang bebas. merenung dan memikirkan bagaimana setiap elemen dalam karya ini akan berbicara kepada siapa pun yang melihatnya nanti. Tentang warna, bentuk, dan tekstur yang menciptakan efek visual yang kuat.

Berjam-jam setelah waktu berlalu, Ketika matahari perlahan turun menuju cakrawala, aku menatap hasil karyaku yang telah selesai. Dengan penuh kepuasan, aku tersenyum, menikmati momen ketika tanah liat tadi telah berubah menjadi sebuah potongan seni yang lumayan indah.

"Widih, Meni kasep kieu." Aku memuji hasil karyaku sendiri. Tidak buruk, tapi juga tidak terlalu bagus. Tapi aku yakin akan mendapat nilai cukup, minimal di angka sembila puluh atau lebih.

Ku lirik Rendi yang masih bergulat dengan tanah liat, seperti biasa, karyanya nampak akan jadi yang paling indah. Kalian pasti sudah tau jika Rendi itu telaten terhadap Seni, bahkan rela begadang di studio walau sering di ganggu oleh makhluk halus disana, tidak heran jika dia selalu dapat nilai tertinggi di kelas.

"Gimana si Naila?" tanya Rendi tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya yang duduk di sebelah kiriku.

Hanya dengan Rendi menyebut nama gadis itu saja, senyumku merekah. Membayangkan sosok indahnya, semangatku kembali menyala. Mungkin terdengar lebay, tapi begitulah gejolak cinta yang memenuhi hatiku, menghadirkan rasa bahagia yang sulit diungkapkan.

Gadis yang dimaksud adalah Naila. Ya, Naila Belinda. Sosok yang aku temui saat berkumpul di kosan Rendi, bagimana tatapan matanya yang tulus membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku bahkan terpanah saat melihat kebaikannya terhadap kucing di tempat makan perkiran Seni Rupa saat itu.

Dan dari sanalah, aku ingin mengenal Naila lebih jauh, mencari tahu siapa dia, dari jurusan apa dan sosok yang bagaimana, aku ingin memperjuangkannya dengan cara yang berbeda. dan jika dia mau, aku akan membuat Naila mencintai Bandung berserta segala isinya.

"Woi!!" Rendi membuyarkan lamunanku,

"Di tanyain malah begong wae, mikirin opo, cok?!" Aku tertawa, padahal tidak ada yang lucu. Hanya asal melakukannya saja.

"Liat aja," kataku dengan senyum penuh keyakinan.

Rendi mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu? Gak nyambung."

ROMANTIKA BUMI PASUNDAN | LEE HAECHAN |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang