Tak ada yang mau buka suara, keduanya membisu di atas motor. Matthew menggigit bibirnya, mencoba mencari topik untuk di bicarakan daripada menahan kecanggungan ini.
Jiwoong melihat hal itu dari spion motornya. Ia juga bingung. Sulit sekali, ya?
Jiwoong berdehem ketika rambu lalu lintas itu berubah menjadi warna merah. Kecanggungan semakin menyelimuti mereka berdua.
Jiwoong menggosok-gosokkan kedua tangannya yang berkeringat karena terlalu lama memegang setang motornya. Bukan hanya itu, ia juga gugup karena ini bisa dibilang first date mereka setelah Jiwoong caper ke Matthew dengan cara meminta Matthew untuk mengajarinya pelajaran fisika yang tidak dimengertinya. Aneh bukan? Secara Matthew adalah adik kelasnya, dan seharusnya belum mengerti tentang pelajaran kakak kelas.
Benar-benar tak ada yang ingin membuka suara lebih dulu. Mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Kafe yang tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar. Dindingnya dominan berwarna ivory, banyak bunga dan tanaman hijau, membuat suasana tempat itu terkesan segar. Ditambah lagi, tempat itu tidak terlalu berisik dan jauh dari jalan raya yang padat.
Mereka memilih untuk duduk di sepasang kursi di pojok ruangan, mereka masih bisa melihat keluar karena terdapat jendela besar di sebelahnya.
Matthew meremas celana seragamnya, sambil sesekali melirik ke arah Jiwoong yang sedang melihat ke arah luar.
Melihat hal itu, Matthew menggigit bibirnya, ia melihat-lihat plafon yang tak menarik perhatiannya.Dan semua kecanggungan itu akhirnya buyar ketika seorang pelayan laki-laki datang dengan daftar menu makanan di tangannya.
"Selamat siang, silahkan lihat-lihat dulu menu yang bakal di pesan, saya tunggu dengan sabar kok!" pelayan itu tersenyum ke arah mereka berdua, Matthew suka tempat ini.
'Kapan-kapan, gue bakal ajak Hanbin ke sini!'
Setelah memilih makanan yang ingin ia pesan, Matthew menatap ke arah Jiwoong. Pelayan laki-laki tersebut ikut menatap Jiwoong lalu menatap Matthew.
"Pacarnya mau apa, kak?" kalimat itu keluar dari mulut pelayan itu tanpa ada sedikitpun ragu. Matthew membelalakkan matanya lalu menatap pelayan itu dengan raut terkejut. Pelayan tersebut sedikit bingung, lalu beberapa detik kemudian, ia menyadari sesuatu. Ia langsung menutup mulutnya sambil membungkuk maaf ke arah mereka berdua.
Jiwoong yang juga terkejut, hanya menatap mereka berdua secara bergantian. Lalu mata Matthew dengan matanya bertemu. Terdapat rasa tak enak di mata Matthew.
"Ehhh.. nggak papa kok, nggak perlu minta maaf," Jiwoong meyakinkan sembari melambaikan tangannya, memberi maksud bahwa itu bukan apa-apa. Akhirnya ia memutuskan untuk memesan minuman yang sama dengan Matthew.
"Maaf ya, kak! Saya emang agak sotoy, lain kali saya nggak bakal kaya gini. Tolong jangan takut untuk datang lagi kesini," pelayan tersebut membungkukkan badannya beberapa kali sebelum kembali ke dalam dapur.
Jiwoong berdebar-debar dibalik itu, dibalik wajahnya yang datar sambil memandang pemandangan dari dalam kafe itu. Rasa-rasanya, ia harus membungkuk berterimakasih kepada pelayan tersebut. Rasa-rasanya, ia melayang dengan gambar-gambar cinta di antaranya.
Namun, sangking ahlinya Jiwoong menutupi itu, Matthew mengira, Jiwoong tak senang dan nyaman dengan hal itu karena raut wajah Jiwoong menggambarkan perasaan itu. Matthew menunduk ke bawah, kembali milin celana seragamnya, membiarkan pikirannya berpikir negatif tentang reaksi Jiwoong dengan ucapan pelayan tadi.
"Udah. Nggak usah dipikirin," Matthew mengangkat kepala ke atas, menatap Jiwoong dengan lekat, mencari kebohongan dari mata itu. Hasilnya, tidak ada.
"Gue nggak marah, gue nggak masalah dengan itu. Udah, ya? Jangan dipikirin mulu."
Tak tahu sejak kapan tangan kanan Matthew sudah berada di atas meja, dan Jiwoong menggenggam tangannya. Matthew menunduk kebawah sambil tertawa kecil, malu dengan sifat overthinking yang ia miliki. Jiwoong tersenyum melihatnya. Gemes.
Seorang pelayan yang berbeda datang, tersenyum sembari meletakkan pesanan mereka, "Silahkan.." sepertinya, pelayan tadi tidak berani karena hal kecil yang telah diperbuatnya tadi. Sangat lucu jika itu benar-benar terjadi. Setelah makanan habis, mereka memutuskan untuk pulang.
Jiwoong menawarkan diri untuk mengantarkan Matthew untuk pulang, dan tentu diterima dengan senang hati oleh Matthew. Sore itu indah sekali rasa Matthew. Ia letakkan dagunya dibahu Jiwoong, sambil menatap wajah yang memukau itu diwarnai warna oranye dari matahari terbenam disebelah kiri mereka. Jiwoong menatap Matthew sekilas lalu kembali fokus ke jalanan. Ia tersenyum melihat tingkah Matthew.
"Jangan diliat kaya begitu banget, nggak fokus gue," senyumnya tak juga luntur. Matthew tertawa, dan mengalihkan pandangannya ke depan.
Ah, indahnya...
Mattbin & Sha loves you.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend | Mattbin
Fanfic[DISCONTINUED] I pushed you away, to see if you would stay. Contains harsh words! Out Of Character Matthew! Karakter-karakter di book ini sering cursing/ngomong kasar. Please, leave this book if u uncomfortable. ©jakkkungz