SCENE III

56 7 0
                                    

Di resepsi itu ternyata Merina menghilang entah ke mana. Helmi Rantung mendapatkan dirinya celingukan seorang diri dengan segelas gin tonic di tangannya. Di sekelilingnya berdiri bermacammacam manusia. Ada yang mengenakan kemeja batik seperti dirinya, ada yang berkemeja biasa, ada yang memakai jas. Begitu pula perempuan-perempuan yang ada, semuanya tampil dalam beraneka rupa pakaian yang semarak dan mahal.

Helmi Rantung memakimaki dalam hati. Sialan! Ke mana Merina? Seandainya ia tahu ia bakal ditinggalkan seorang diri seperti tugu Monas, dia tidak akan ikut kemari walaupun dengan dalih toleransi segala macam. Sialan..

"Nice party, isn't it?"

Helmi Rantung berpaling dan bertemu pandang dengan seorang laki-laki berambut pirang dan bermata kebiru-biruan. Laki-laki ini mengenakan kemeja lengan pendek biasa dan dia juga memegang gelas minuman yang berwarna kecoklatan di tangannya.

Helmi Rantung ingin mengatakan "No", tapi tata-cara ketimuran mengubah sanggahan yang tak pernah terucapkan itu menjadi suatu senyuman.

"Yeah, nice party," katanya mengangguk.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat khas Australia.

"Nama saya Peter Halliday. Saya lihat Anda juga terdampar di sini seorang diri. Apakah Anda kehilangan patner Anda?"

Helmi Rantung mengangguk.

"Ya. Teman saya menghilang entah ke mana," katanya dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, "Anda juga?"

Peter Halliday mengangguk.

"Ya, teman saya juga menghilang entah ke mana. Saya tidak kenal siapa-siapa di pesta ini. Saya merasa seakan tersesat di tengah hutan."

"Kita sama." komentar Helmi Rantung.

Mereka tertawa berbarengan.

"Saya bekerja pada Dawson Trading Company Limited." kata Peter Halliday selanjutnya, "Saya adalah Kepala Pemasaran mereka untuk Asia Tenggara. Perusahaan kami bergerak di bidang pengadaan mesin-mesin yang kami ekspor ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia."

"Ah, jadi Anda kemari dalam rangka bisnis?" tanya Helmi Rantung.

"Ya. Perusahaan saya baru saja menyelesaikan suatu kontrak di sini. Mesin-mesin kiriman kami baru saja selesai dipasang. Saya memerlukan datang untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Di samping itu tentunya masih ada bisnis-bisnis lain," Peter Halliday tersenyum lebar.

"Apakah Anda juga seorang pengusaha?" tanyanya.

Helmi Rantung yang tidak suka kehadirannya di sini diketahui orang _apalagi karena ia pergi atas ajakan seorang purel_ tidak berniat memberitahukan identitasnya yang benar. Dia hanya mengangguk saja kepada asumsi orang asing ini.

"Sudah saya duga." kata Peter Halliday dengan semangat, "Anda memang tampak seperti seorang pengusaha yang sukses."

Pelajaran keterampilan menjual yang telah dikuasainya mengatakan bahwa seorang pembeli yang potensial perlu diberi pujian supaya ia bersimpati terhadap yang menjual. Itulah yang sekarang dilakukannya. Peter Halliday segera merogoh saku kemejanya dan mengulurkan sebuah kartu nama.

"Ini kartu nama saya. Ini alamat perusahaan saya di Australia. Jika Anda membutuhkan mesin-mesin, hubungilah kami. Kami dapat mensuplai segala jenis mesin. Tidak hanya yang buatan Australia, tetapi juga yang buatan Eropa. Kami punya banyak cabang dan koneksi di Eropa. Harga kami pasti yang paling kompetitif. Itu dapat saya jamin. Kami dapat memenuhi semua kebutuhan Anda bahkan terkadang dengan harga tiga puluh persen lebih murah daripada yang Anda bisa peroleh langsungJdari pabriknya!"

Sebetulnya Helmi Rantung sama sekali tidak tertarik berbincang-bincang dengan seorang supersalesman yang getol mencari pasar bagi produknya itu. Lagi pula ia sama sekali tidak punya rencana untuk membeli mesin macam apa pun. Jangankan mesin, seringkali mau beli kemeja saja uangnya tidak cukup!

Namun rupanya laki-laki berambut pirang ini tidak putus asa. Ia masih meneruskan bicaranya, mengeluarkan semua kharismanya, mengetengahkan segala teknik penjualan yang pernah dipelajarinya. Melihat sikap teman bicaranya yang cuma sekali waktu mengangguk secara pasif itu, ia lebih giat lagi memberikan penjelasan, mengemukakan lebih banyak lagi segi keuntungannya jika orang membeli dari perusahaannya.

Pada mulanya Helmi Rantung mendengarkan dengan setengah terkantuk-kantuk. Hanyalah etika pergaulan ketimuran yang sopan santun sajalah yang mencegahnya dari menghentikan ocehan si pengejar pesanan itu, tetapi lama kelamaan ada yang menarik perhatiannya. Mulailah dia memberikan tanggapan yang lebih positif daripada sekadar mengangguk saja.

Peter Halliday yang melihat perubahan sikap yang lebih prospektif ini menganggap bahwa pada akhirnya ia telah berhasil membangkitkan minat si pengusaha sukses ini untuk merintis suatu hubungan jual beli dengan perusahaannya. Ia menjadi lebih bersemangat dalam ceritanya, semakin berani mengetengahkan keuntungan-keuntungan yang bisa ditawarkannya.

Ketika akhirnya mereka berpisah, orang Australia ini menganggap bahwa kedatangannya di pesta yang membosankan ini toh tidak sia-sia.

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang