SCENE XXXV

73 8 3
                                    

Sehabis makan siang mereka duduk di teras rumah keluarga Kosasih _Suami-istri Ajun Komisaris polisi itu, Bambang, Dessy, Teti, dan tentu saja Gozali. Sebentar lagi mereka akan mengantarkan Kosasih ke stasiun kereta api karena ia harus segera kembali ke Jakarta sore hari ini. Mereka hanya punya waktu kurang-lebih tiga jam sebelum kereta berangkat.

Dessy sudah pulih dari shock-nya, sudah bisa tertawa lagi. Hanya sinar matanya yang banyak berubah. Waktu yang dilewatinya sebagai sandera di dalam kamar yang terkunci itu tak pelak telah meninggalkan dampaknya juga pada diri gadis ini. Dampak yang mungkin seumur hidup tidak akan hilang. Dampak yang menumbuhkan sikap awas, sikap curiga, sikap lebih berhati-hati. Semuanya ini bukannya tidak baik, asalkan tidak membuatnya getir saja terhadap hidup ini.

Kalau tadinya Dessy adalah seorang gadis yang periang, polos, dan lincah yang memandang segala sesuatu hanya dari segi baiknya saja, maka pengalamannya kali ini memaksanya untuk mengakui bahwa di dunia ini juga terdapat banyak kejahatan. Banyak hal yang jelek dan buruk dan menyakitkan, dan orang harus berhati-hati dalam setiap langkahnya supaya tidak menyesal kemudian.

Ya, Dessy telah menjadi lebih dewasa dalam waktu beberapa jam yang menegangkan itu saja, ketika ia disekap di dalam sebuah kamar yang gelap, ketimbang perkembangannya selama setahun yang terakhir.

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau temanmu itu bisa berbuat demikian. Des." Kata ibunya, "Datangnya ke sini selalu sopan, pakai selamat malam Tante, selamat malam Oom, tapi tidak tahu hatinya kejam seperti serigala."

"Sekarang Dessy juga baru sadar, Bu, bahwa Taufik itu mendendam pada Dessy." Kata anak gadisnya, "Sejak saat piknik itu."

"Piknik ke Tretes itu?" Tanya Bambang.

"Iya, hari yang sama aku melihat Yusman Rasidi di dekat air terjun itu."

"Memangnya mengapa Taufik mendendam padamu? Aku kira tadinya ia naksir kamu." Kata kakaknya.

"Mungkin dia naksir, tapi hatinya busuk, penuh dengki. Sekarang aku pikir-pikir mungkin memang sejak semula barangkali itikadnya sudah tidak baik." Kata Dessy.

"Ceritanya bagaimana. Des, kau tidak pernah menyinggung masalah ini." Kata Bambang.

"Bermulanya dari soal sepele. Waktu kami dalam perjalanan ke Tretes, anak-anak mengusulkan untuk bermalam saja di sana. Kebetulan si Kandar baru saja mendapat persen dari kakaknya. Aku menolak, kan sebetulnya memang tidak direncanakan bermalam dan Taufik marah."

"Terus teman-teman yang lain bagaimana?" Tanya ayahnya.

Kalau memang teman-teman anaknya ini punya tendensi yang kurang baik, lebih baik anaknya tidak usah saja berteman dengan mereka.

"Teman-teman yang lain akhirnya mau mengerti juga dan malah membenarkan sikapku." Kata Dessy, "Hanya Taufik sendiri yang memusuhiku."

"Ah, masa untuk urusan sepele begitu saja ia mau membunuhmu?" Tanya Bambang heran.

"Itu baru permulaannya. Tapi akhirnya kami bertengkar. Dia mengatai aku macam-macam. Yang perawan pingitan-lah, yang sok pahlawan, sok generasi penerus, pokoknya macem-macem. Dan aku juga berbuat yang sama, habis hatiku juga jengkel sih! Aku juga membalas mengata-ngatainya, dan aku kira pilihan kata-kataku pun cukup pedas. Pokoknya kami bertengkar ramai, saling menyakiti. Lucu nggak, dia itu juga sempat cemburu pada Lik Ali." Dessy tersenyum, "Katanya aku selalu memuji-muji sifat Lik sampai ia muak."

"Des!" Gozali membentaknya tanpa tersenyum sedikit pun. Kali ini Kosasih sudah menerima shock yang cukup berat, dia sekali-kali tidak bermaksud menambahinya lagi dengan membuatnya terkejut mendengar Dessy mengakui bahwa ia mencintai dirinya.

Nyonya Kosasih melirik Gozali sekilas, lalu ia berpaling pada putrinya yang tersenyum penuh arti. Sebagai ibu rupanya ia punya perasaan yang lebih peka. Kali ini naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan di sini.....

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang