SCENE VII

56 5 0
                                    

Tretes, Rabu 25 Juni tahun ......

"Anda sebelumnya belum pernah kemari, kan?" tanya laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu kepada Helmi Rantung.

Mereka berjalan berbuntutan menyusuri jalan yang kecil berbatu. Di sebelah kanan banyak ditumbuhi semak-semak sedangkan di sebelah kirinya adalah jurang. Jalan ke air terjun Kakek Bodo sangat sempit, hanya cukup untuk dilalui satu orang saja.

"Tidak," kata Helmi Rantung yang sebetulnya sama sekali tidak ingin melihat air terjun ini.

Untuk apa sih melihat air terjun? Toh hanya begitu saja, sekadar air yang jatuh dari lereng pegunungan. Apanya yang istimewa? Tapi ia terpaksa berangkat juga karena si tuan rumah bersikeras memamerkan air terjun ini kepadanya. Kakek Bodo cukup terkenal bagi masyarakat Jawa Timur, terutama bagi yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya. Helmi Rantung menggerutu dalam hati. Siang-siang begini yang paling enak adalah duduk-duduk di cafe sambil menikmati minuman segar.

"Di Jakarta kan tidak ada air terjun?" kata laki-laki tegap itu lagi.

"Di sini juga tidak ada tugu Monas." sahut Helmi Rantung datar.

Temannya terbahak.

"Di udara yang sejuk begini kita merasa lebih segar, kan? Di sini kita bisa menikmati pemandangan alam yang masih murni dan indah, belum tersentuh polusi manusia."

"Kalau mencari udara segar saja di Puncak juga ada, bahkan lebih dingin daripada ini!"

"Wah, betul! Tapi lain di Puncak lain di sini, Pak..."

"Iya, di sini sepi sekali." kata Helmi Rantung, "Heran, tempat rekreasi begini kok sepinya bukan main. Setan saja tidak ada yang lewat."

"Ini kan tengah-tengah minggu." kata temannya, "Kalau akhir minggu tentu ramai. Tapi jika kita ingin menikmati pemandangan alam, memang harus mencari saat-saat yang sepi. Kalau sedang ramai-ramainya, tentu berdesak-desakan dengan orang banyak. Kita sudah tidak bisa lagi menikmati keindahannya."

Mereka berjalan terus. Ranting-ranting kecil dari pohon-pohon perdu dan rumput-rumput panjang menusuk-nusuk celana. _Sialan_ pikir Helmi Rantung, _Bisa-bisa celana gue robek di sini. Memangnya ngapain sih kemari?_

"Anda sering kemari?" tanya Helmi Rantung berusaha menekan rasa jengkelnya.

"Oh, dari waktu ke waktu bersama anak-anak," kata temannya.

"Berapa anak Anda?" _Kok aku tiba-tiba seperti ibu-ibu yang arisan menanyakan jumlah anak segala_ pikir Helmi Rantung.

"Tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Sudah remaja semuanya, bahkan yang sulung akan menikah tahun ini. Dan Anda sendiri?"

"Oh. saya masih bujang." kata Helmi Rantung.

"Wah.... kenapa masih bujang, Pak? Harus cepat-cepat berumah tangga, punya hiburan kalau pulang."

"Hiburan kan bukan cuma datang dari keluarga saja." kata Helmi Rantung, "Di Jakarta ada seribu satu hiburan yang justru hanya bisa dinikmati mereka yang tidak terikat keluarga."

Kedua laki-laki ini terbahak bersama-untuk sementara berbagi rahasia laki-laki.

"Yah, itu benar." kata teman seperjalanannya, "Ada berbagai macam hiburan. Nah, tuh.... Air terjunnya sudah tampak dari sini. Yuk, kita mendekat!"

Helmi Rantung mulai merasakan percikan air dari atas yang lembut menerpa wajah dan tubuhnya. Memang indah. Deru air yang dicurahkan ke bawah dan pecah di atas batubatuan untuk kemudian mengalir dengan deras memang merupakan pemandangan yang menyentuh hati.

"Mari duduk di batu ini !" ajak si tuan rumah yang sudah lebih dahulu mencopot sepatunya dan berjalan dengan tangkasnya di atas batu-batuan kali yang besar dan basah.

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang