SCENE XXXIV

45 5 0
                                    

Surabaya, Senin 8 Juli tahun.......

"Aku tidak pernah melihat wajahnya, Pak !" kata Dessy yang pagi ini sudah tampak sehat kembali.

Bekas gosong masih ada pada lehernya yang mulus, tapi selain itu sudah tidak ada apa-apa lagi yang membekas. Kecuali mungkin trauma dari pengalamannya yang terakhir.

"Waktu ia masuk ke dalam kamar di mana aku dikuncinya, ia mengenakan sebuah topi pet yang menutup seluruh bagian atas wajahnya, sedangkan dari hidung ke bawah tertutup oleh sapu tangan seperti yang dipakai bandit-bandit dalam film koboi."

"Apa saja yang diperbuatnya padamu?" Tanya bapaknya tak henti-hentinya memeriksa sekujur tubuh putri sulungnya ini.

Pagi ini Dessy sudah diizinkan pulang dan Kosasih beserta Gozali yang menjemputnya.

"Aku dibiusnya, Pak. Terakhir yang aku ingat adalah tiba-tiba aku menjadi mengantuk dan saat berikutnya ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam suatu kamar yang gelap. Kamar ini tidak ada apa-apanya, hanya empat dinding, langit-langit, dan lantai."

"Kau tidak diperkosanya?" Tanya Kosasih.

Dessy memerah wajahnya, melirik Gozali yang berdiri di sisi tempat tidurnya.

"Ini Lik-mu, kau tidak perlu malu. Katakan terus terang!" Kosasih menatap putrinya dengan serius.

"Ah, Bapak ini! Kan malu!" Dessy menutup wajahnya.

Segera hati Kosasih seakan-akan tertusuk pisau. Nyeri dan sakit.

"Des, kau diperkosanya?" Ini lebih merupakan suatu pernyataan daripada pertanyaan.

Dessy menunduk, tidak menjawab.

"Des!"

"Aku tidak tahu, Pak." Kata Dessy dengan suara yang kecil, "Kan aku pernah tak sadarkan diri."

"Iya, tapi bagaimana rasanya?" Kosasih panik, "Apakah kau merasa sakit atau tidak?"

"Ah, Bapak. Malu-maluin saja, ada Lik kok bertanya begitu!"

"Goz, jangan sekali-kali hal ini sampai tersebar di luar. Aku tak mau anak gadisku menjadi cemoohan orang!"

"Sekarang yang penting adalah mencari tahu dari Dessy siapa yang bertanggungjawab atas semuanya ini. Nyawa Dessy lebih penting daripada hal-hal lain."

"Kau betul, Goz. Terus bagaimana, Des?" Tanya bapaknya.

"Aku ketakutan setengah mati, Pak. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu yang terkunci. Aku mengira kali ini riwayatku pasti akan tamat. Entah berapa lamanya aku dibiarkan di sana. Aku berusaha memanggil beberapa kali, barangkali ada orang yang bisa menolong, tapi tak ada yang datang. Aku betul-betul ketakutan, Pak. Setelah lewat seribu tahun rasanya, tiba-tiba aku mendengar orang membuka kunci pintu kamar itu dari luar. Perasaanku bercampur baur. Aku harap-harap cemas bahwa pertolongan datang, tapi detik berikutnya ketika aku melihat orang yang bertopi dan menutup mukanya itu, aku segera sadar bahwa ia sekali-kali tidak bermaksud menolongku. Aku berusaha berlari keluar melewatinya, tapi ia lebih kuat. Dengan sigap aku diringkusnya, walaupun aku sempat memberontak mati-matian. Aku berteriak-teriak, tapi tak ada yang datang menolong. Akhirnya aku merasa orang ini berhasil menempatkan jari-jari tangannya di leherku. Aku meronta, mencakar, kaki dan tanganku mendorong dan menyepak sekuat tenaga. Tapi toh akhirnya ia berhasil membuatku tidak bisa bernapas dan aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku sadar aku sudah berada di sini dan sedang dikerumuni dokter-dokter dan perawat."

"Menurut dokter cekikan di lehermu tidak terlalu parah. Kau bukannya pingsan karena tidak bisa bernapas, tetapi lebih karena ketakutanmu. Itu yang telah menyelamatkan dirimu, Des." Kata Kosasih, "Orang itu tentunya mengira ia telah berhasil mencekik kau mati sehingga dilepaskannya cengkeraman pada lehermu. Seandainya ia bertahan sedikit lebih lama lagi, pasti kau mati betul-betul."

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang