SCENE XXIX

46 5 2
                                    

Dessy terjaga dan mendapatkan dirinya terkunci dalam suatu kamar kosong yang tertutup rapat.

Ruangan ini gelap dan masih berbau cat. Dessy berusaha mengorientasikan dirinya. Kepalanya masih pening dan daya pikirnya masih belum seluruhnya pulih.

Pertama-tama yang dicobanya adalah menggerakkan tangan dan kakinya. Ini membuatnya sadar bahwa ia tidak terikat. Lalu ia mulai meraba-raba sekujur badannya ternyata juga tidak ada tempat-tempat yang terasa nyeri yang perlu dikhawatirkannya. Kemudian dia mencoba duduk. Berhasil walaupun kepalanya masih pusing. Lalu ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada dinding. Setelah merasakan kakinya stabil, dia mencoba mengambil beberapa langkah. Tidak ada bagian tubuhnya yang tidak berfungsi. Yang sakit cuma kepalanya.

Dessy mulai sadar bahwa kamar ini tidak berjendela. Hanya terdiri atas empat dinding dan sebuah pintu yang terkunci. Di atas sana, kira-kira sepuluh sentimeter dari langit-langit, ada dua buah lubang ventilasi yang cuma selebar telapak tangannya. Dari sana masuk sedikit cahaya.

Dessy mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Tadi ia pergi bersama temannya ---mau ke mana? Ah... Iya, mau menengok Pak lksan di rumah sakit. Lalu kok bisa sampai kemari? Samar-samar Dessy ingat bahwa ia dibawa ke sebuah rumah yang belum seratus persen rampung karena temannya mau menemui seseorang. Lalu ia disuruh masuk dan menunggu. Kemudian apa yang terjadi?

Ke mana temannya sekarang?

Sudah berapa lamanya berselang sejak waktu itu?

Perlahan-lahan pikirannya mulai terbuka. Dessy menjadi takut. Benarkah temannya sendiri yang mau mencelakakannya? Mengapa ia dikunci di tempat ini? Apakah ini ada hubungannya dengan usaha orang yang ingin menubruknya tempo hari? Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan di Kakek Bodo? Tak mungkin ini suatu lelucon! Betapa humorisnya pun teman-temannya, tapi ini sudah bukan sesuatu yang lucu lagi!

Pertanyaan bertubi-tubi muncul di benaknya. Kepanikan terus merayap di hatinya sehingga ia merasa keringat dingin mengucur keluar dari setiap lubang pori-pori kulitnya. Apa yang akan diperbuatnya?

Dengan susah payah Dessy berusaha membaca arlojinya. Kalau jam-nya berjalan normal dan tidak salah, sekarang pukul empat. Empat apa? Pagi atau sore? Dari kamarnya yang serba gelap ini ia tidak bisa menebak apakah sekarang pagi atau sore, apakah secercah sinar yang masuk ke kamarnya itu sinar matahari atau lampu. Ia sama sekali tidak bisa merasakan berapa lamanya ia tak sadarkan diri tadi.

Sekali lagi Dessy mencoba tangkai pintu. Masih tidak bergeming. Pintu tetap terkunci rapat. Dessy mempertimbangkan apakah sebaiknya ia berteriak atau tidak. Barangkali orang-orang yang menahannya di sini masih ada di dalam rumah. Bagaimana reaksi mereka seandainya ia berteriak? Apakah mereka malah akan datang untuk menyiksanya? Kalau begitu, sebaiknya ia diam saja tanpa mengingatkan mereka akan kehadirannya di dalam kamar ini. Tetapi seandainya ada orang lain di dalam rumah ini-atau di luar rumah ini yang bisa menolongnya, dan dia tidak berteriak, bagaimana orang ini bisa tahu bahwa ia terkunci di dalam?

Keringat dingin semakin mengucur. Dessy tidak tahu risiko mana yang harus diambilnya. Pada saat nyawanya berada di ujung tanduk begini, otaknya benar-benar buntu.

Dessy berusaha mempertajam pendengarannya. Rasanya ia tidak bisa menangkap suara apa pun dari luar. Apakah memang di rumah ini tidak ada orang atau dindingnya begitu tebal sehingga tidak tembus suara? Kalau ia tidak bisa mendengar suara dari luar, berarti suaranya juga tidak akan terdengar dari luar. Percuma ia berteriak.

Bagaimana ia bisa melepaskan dirinya? Di sini tidak ada sebuah lubang pun dari mana ia bisa keluar. Kecuali lubang kunci dan lubang ventilasi yang selebar telapak tangannya, kamar ini buntu, rapat, dikelilingi oleh tembok padat. Apakah ini berarti nasibnya sudah ditentukan? Vonis kematian? Kecuali jika ada yang menyelamatkannya sebelum itu, ia tidak melihat kemungkinan bagaimana ia bisa menyelamatkan dirinya dari tempat ini.

Dessy kembali duduk di lantai. Aneh, pikirnya. Mengapa mereka tidak langsung menghabisi nyawaku saja pada waktu aku pingsan? Mengapa aku dikunci di kamar ini? Apakah ini hanyalah salah satu gurauan teman-teman untuk menakut-nakuti aku? Tapi kalau ini hanya suatu lelucon, rumah siapa ini? Teman-temannya tidak ada yang punya rumah baru. Mereka semuanya mempunyai orang tua. Mustahil para orang tua menyetujui permainan gila seperti ini.

Atau barangkali orang-orang keiam itu sengaja membiarkan aku mati kelaparan di sini? Bulu tengkuknya berdiri. Mati kelaparan bukan cara mati yang enak. Penderitaan yang hebat akan harus dilewatinya dulu sebelum ajal datang. Dan berapa lama orang akan mati kelaparan? Satu minggu? Dua minggu? Satu bulan? Dua bulan?

"Yaa Tuhan! Jauhkan kiranya nasib itu dariku. Seandainya aku harus mati sekarang, biarlah aku mati tanpa menderita." Bisik Dessy.

Tapi panggilan kepada Tuhan tiba-tiba mengingatkannya. Mengapa ia minta mati yang tidak menderita? Mengapa harus minta mati? Mengapa tidak minta hidup?

Dessy segera mengganti permohonannya; "Yaa Tuhan! Tolong selamatkan aku dari mara bahaya ini. Jangan biarkan mereka membunuhku!"

Tanpa disadarinya air matanya menitik satu per satu. _Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Mengapa aku harus mati? Aku tidak berbuat kesalahan! Aku tidak pernah berlaku kejam terhadap siapa pun! Aku tidak pantas menerima hukuman ini! Mengapa aku dihukum karena kesalahan orang lain? Mengapa orang yang membunuh malah dibiarkan lepas, sedangkan aku yang hanya kebetulan melihatnya justru yang harus mati? Ini tidak adil! Yaa Tuhan.... Ini tidak adil! _Pekiknya di dalam hati.

Dan temannya..... Siapakah dia sebenarnya? Apakah hubungannya dengan si pembunuh di Kakek Bodo itu? Apakah dia sengaja berkomplot dengan orang itu untuk mencelakakan aku, atau dia sendiri pun sekarang terperangkap seperti aku? Barangkali ia juga sedang terkunci dalam kamar yang lain di rumah ini?

Tangisnya sekarang tidak lagi hanya air mata yang mengalir dalam kebisuan. Tangisnya mengambil bentuk isakan-isakan tajam yang mengguncang badannya. Adakah orang yang akan menyelamatkannya? Siapa yang tahu ia berada di rumah ini? Tidak ada yang tahu ia disini. Ia tidak meninggalkan catatan sama sekali ke mana perginya dan bersama siapa. Bagaimana orang bisa menemukannya? Apakah mereka baru akan menemukannya setelah dia memjadi mayat yang membusuk dan berbau?

"Yaa Tuhan! Aku tidak ingin mati ! Akutidak ingin mati!"

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang