SCENE XVI

35 4 0
                                    

Surabaya, Kamis 3 Juli tahun......

Laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu terperanjat membaca artikel di Surabaya Post sore hari tu.

_Aku harus berbuat sesuatu dan cepat, pikirnya. Sebelum tanggal 7Juli aku harus berbuat sesuatu. Jika hal ini kubiarkan, bisa-bisa semuanya berantakan. Sialan gadis itu! Pada waktu itu aku sudah punya firasat jelek akan timbul masalah karena bertemu dengannya. Tapi aku tidak menyangka bahwa gadis ini anak Ajun Komisaris polisi dan dia akan menghubungkan pertemuan kami dengan kejadian di Kakek Bodo. Aku harus segera mencari tahu di mana alamatnya!

__***__

Surabaya, Jumat 4 Juli tahun......

Laki-laki ini membuka buku telepon dan mencari nomor telepon Polda jatim.

"Halo, selamat pagi. Minta tolong disambungkan dengan Ajun Komisaris Kosasih," katanya.

Selang beberapa lamanya, ia mendengar suara seorang laki-laki.

"Ajun Komisaris Kosasih?" tanyanya.

"Oh, bukan.... Di sini Bripka Manopo. Ajun Komisaris Kosasih sementara tidak ada di Surabaya. Telepon ini dari mana?"

Pikirannya berputar cepat, dari kebiasaan dia sudah terlatih mengambil keputusan dalam sesaat.

"Saya teman lamanya sekampung dulu. Kalau beliau tidak ada, saya ingin bertemu dengan keluarganya saja mumpung saya sudah jauh-iauh dari Jawa Barat sampai kemari. Apakah saya bisa tolong diberi alamat rumahnya?"

"Oh, bisa...." sahutan dari seberang.

Dalam waktu dua detik laki-laki itu telah mendapatkan alamat yang dikehendakinya.

__***__

Jumat pagi ini mata Edi Sanjaya tiba-tiba terpaku pada iklan pojok di koran Surabaya Post terbitan kemarin sore. Helmi Rantung.... nama itu familier baginya. Untuk membenarkan ingatannya, ia segera mengambil buku tamu dan mulai memeriksa.

Tidak salah! Ternyata memang Helmi Rantung ini pernah menginap di hotel tempatnya bekerja pada hari Selasa tanggal 24 juni. Bahkan dialah tamu yang tidak kembali itu. Semua barangnya masih ditinggalkan di hotel begitu saja, tapi orangnya tidak muncul.

Sebetulnya sudah beberapa hari ini Edi Sanjaya ingin lapor kepada atasannya bahwa ada tamu yang menghilang. Tapi karena setelah diperiksa di dalam kamar masih tertinggal semua barang si tamu, ia ragu-ragu. Mungkin saja tamu ini ada keperluan di luar kota sehingga tidak bisa pulang ke hotel. Tapi karena barang-barangnya masih ada, tentunya suatu saat dia pasti muncul juga.

Dan sekarang ada iklan ini. Aneh! Jangan-jangan si Helmi Rantung ini melarikan uang perusahaannya lalu menghilang. Edi Sanjaya memutuskan untuk menghubungi nomor telepon yang tercantum di iklan itu.

"Halo," katanya, "Ini dari Surabaya. Saya mau bicara dengan Saudara Sarwoko, yang memasang iklan di harian sore Surabaya Post."

Beberapa saat lamanya terdengar suara seorang laki-laki di ujung sana.

"Ya, di sini Sarwoko!"

"Ah, perkenalkan Pak. Saya Edi Sanjaya dari Hotel Kartika di Surabaya. Saya punya tamu yang bernama Helmi Rantung."

"Oh, bagus!" jawab Sarwoko, "Bisa saya bicara pada Pak Rantung sekarang?"

"Wah. orangnya tidak ada, Pak."

"Kalau begitu, tolong sampaikan pesan saya begitu ia datang. Dia diminta segera menelepon saya."

"Pak, orangnya sudah kira-kira sepuluh hari tidak muncul. Saya ini malah mau tanya. Barang-barangnya di sini mau diapakan. Semuanya masih ada di sini, Pak. Soal ongkos hotelnya sewaktu Pak Rantung pertama masuk, dia sudah membayar untuk satu malam. Sehabis itu karena ia tidak kembali, ya sudahlah.... kami tidak mengenakan ongkos menginap lagi kepadanya karena hotel kami kebetulan sedang tidak penuh. Tapi kami tidak bisa menyimpan barang-barangnya terlalu lama, Pak."

"Jadi sudah sejak sepuluh hari Pak Rantung tidak kembali?" tanya Sarwoko.

"Iya, Pak."

"Kalau begitu nanti saya hubungi Anda kembali. Saya rundingkan dulu dengan atasan saya. Berapa nomor telepon Anda?" tanya Sarwoko.

Selang dua puluh menit, Edi Sanjaya menerima telepon dari Sarwoko.

"Begini, Pak Edi. Kata atasan saya sebaiknya dilaporkan polisi saja, jangan-jangan telah terjadi apa-apa."

"Jadi saya laporkan polisi?"

"Ya."

"Lalu barang-barangnya?"

"Serahkan polisi saja."

"Hotel kami tidak bertanggung jawab, lho Pak! Sebaiknya Bapak kemari saja sendiri untuk mengurusnya."

"Atasan saya akan menelepon ke Polda Jatim untuk minta bantuannya. Sementara ini kami di sini masih sibuk sehingga tidak sempat ke Surabaya. Serahkan saja masalahnya kepada polisi, nanti polisi yang akan menghubungi kami lagi."

"Kalau orangnya kembali dan tahu barang-barangnya ada di tangan polisi, apa tidak marah, Pak? Hotel kami tidak mau disalahkan lho, Pak," kata Edi Sanjaya.

"Kami akan membuat surat kepada Anda supaya Anda punya bukti tertulis bahwa Anda menghubungi polisi atas permintaan kami. Jangan khawatir."

"Baiklah, Pak Sarwoko. Kalau begitu kami akan segera laporkan ke polisi."

__***__

Hari Jumat yang sama pada pukul sepuluh Gozali terperanjat ketika secara iseng-iseng dia membaca artikel mengenai Saksi Kakek Bodo. Gozali tidak pernah berlangganan surat kabar. Biasanya ia hanya membaca kalau kebetulan di dekatnya ada koran menganggur. Jumat pagi ini ia sedang duduk di kamar kerja Kosasih yang sementara waktu dipakai oleh Ajun Komisaris Danu Brata. Koran Surabaya Post edisi Kamis kemarin sore terletak di dalam kotak suratnya. Secara kebetulan saja tadi Gozali mengambilnya dan membaca sambil menunggu Ajun Komisaris Danu yang masih dipanggil atasannya.

"Eeeh.... gila benar ini! Mengapa aku tidak diberi tahu?" katanya entah kepada siapa. Di ruangan ini tidak ada orang lain.

Begitu Ajun Komisaris Danu datang, Gozali menunjukkan artikel itu kepadanya.

"Anda tahu tentang pemuatan artikel ini?" tanyanya.

Danu Brata meliriknya sekilas lalu mengangguk.

"Ya, aku sudah dilapori kemarin. Sewaktu kami pergi, anak-anak Pak Kosasih datang membuat laporan itu dan diterima oleh Bripka Manopo."

"Bagaimana sampai laporan itu bisa dilepas kepada pers?" tanya Gozali jengkel.

"Saya kira ini bukan ide yang jelek. Bagaimana lagi kami bisa mencari orang ini kalau tidak diberitakan di koran."

Gozali menepuk-nepuk dahinya sendiri dengan wajah merah padam.

"Memangnya kenapa, Pak Gozali?" tanya Danu Brata yang tersinggung melihat sikap Gozali.

"Waduh..... Ini kan namanya bekerja tanpa otak, toh!"

Sruuut, darah langsung naik ke kepala Ajun Komisaris Danu Brata. Matanya melotot. Siapa yang dikatakan bekerja tanpa otak? Brengsek orang ini. Rupanya sudah terlalu dimanjakan oleh Kosasih sampai lupa pada kedudukannya sendiri!

"Bagaimana sampai identitas si pelapor kok disebutkan sekali? Ini kan membahayakan. Kalau orang itu betul-betul tersangkut kasus pembunuhan, kan berita ini bisa menempatkan anak Ajun Komisaris Kosasih pada posisi yang berbahaya!"

"Ah.... identitasnya tidak disebutkan, kok!" Danu Brata membantah.

"Betul, namanya sendiri memang tidak disebutkan. Tapi nama bapaknya tercantum di sini, lengkap dengan pangkat dan tempat kerjanya. Itu kan ceroboh? Kalau orang ini mau mencarinya, berapa susahnya ia bisa mendapatkan alamat Ajun Komisaris Kosasih dari kantor Polda Jatim?"

Danu Brata menekur. Betul juga kata-kata orang jelek ini. Pantas dia marah. Tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur, artikel ini sudah dimuat.... mau apa lagi?

"Jadi sekarang bagaimana, Pak?"

"Saya minta Anda usut siapa yang membocorkan identitas pelapor kepada pers. Ini adalah suatu pelanggaran etik yang tidak bisa ditoleransi. Kalau terjadi apa-apa pada keluarga Pak Kosasih, siapa yang bertanggung jawab?"

MISTERI PEMBUNUHAN DI KAKEK BODO - S. MARA Gd.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang