Chapter 22

2.9K 212 31
                                    

Silvar tidak mengambil kesempatan. Dia hanya mengikuti insting.

Pria muda itu melirik gadis remaja berjalan di sebelahnya. Silvar sedang menghabiskan waktu di kota dan dia tidak sengaja melihat Raini di antara kesunyian malam sambil menenteng banyak sekali tas belanjaan. Kadang dia tidak mengerti kenapa mereka selalu bertemu saat malam hari. Semula Silvar berusaha mengabaikan keberadaan gadis itu dan detak jantungnya yang abnormal tiba-tiba, tapi saat ada kelebatan yang mengincar gadis itu, Silvar memilih untuk membuntutinya.

Silvar berniat untuk mencari tahu sosok sebenarnya dari kelebatan itu tanpa disadari Raini. Sangat mengejutkan bagi Silvar saat mengetahui bahwa ketiga sosok berpakaian serba hitam itu adalah pasukan Yokai, pasukan elit dari Casa Diablo. Masih belum jelas kenapa mereka mengincar gadis yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia hitam.

Atau mungkin hanya karena gadis ini pernah dekat dengan Lotus? tanya Silvar dalam hati.

“Terima kasih sudah mau mengantarku,” ujar Raini menyentak lamunan Silvar. “Juga membantuku membawakan belanjaan.”

“Sama-sama,” balas Silvar yang baru sadar dia sedang membawa dua kantung belanjaan.

Silvar merenung sejenak, kemudian kembali menatap Raini. Gadis itu terlihat kedinginan, hanya mengandalkan mantel untuk melindungi tubuh dari hawa dingin. Tak ada syal yang melilit leher, topi wol di kepala, sarung tangan dan juga penutup telinga.

Silvar menatap sekeliling dan melihat sebuah toko scarf yang hendak tutup. Ia mengisyaratkan Raini untuk mengikutinya ke toko itu. Raini yang tidak tahu alasan pria muda itu membawanya ke sana hanya melihat-lihat saja. Ada macam-macam scarf berjejer rapi dalam keadaan terlipat di rak-rak etalase. Pria muda itu menghampirinya sambil membawa sebuah scarf berwarna kuning dengan corak aster transparan.

Raini yang semula menatapnya bingung langsung tertegun saat pria muda itu menyampirkan scarf itu di kepalanya. Dan ia makin tertegun saat scarf tersebut dipasang seperti mengenakan sebuah jilbab. Tiba-tiba saja Raini teringat saat pertama kali ibunya memakainya jilbab di saat ia baru mengenakan seragam SMP.

“Selesai,” ujar Silvar yang menuntaskan aktifitasnya dengan melilitkan syal biru putih ke leher Raini.

Mereka saling menatap dalam diam sampai kemudian Raini memutus kontak matanya dengan menundukkan kepala. Silvar tidak mengerti mengapa tubuhnya bergerak sendiri memakaikan Raini sebuah jilbab. Saat menatap wajah gadis itu, Silvar selalu teingat wajah ibunya. Selama hidupnya, tak pernah ada satu pun wanita yang paling cantik dari ibunya. Wanita muslim dengan jilbab menutup kepalanya, melakukan semua setiap kewajibannya di antara kerumunan penduduk yang kuat dengan adat istiadat mereka yang dipegang teguh.

Mata kuning Silvar dijadikan alasan karena sang ibu lebih memilih keyakinan yang diajarkan suaminya yang berasal dari luar daerah dibanding adat istiadat dari tempat kelahirannya. Para penduduk kota kecil itu tak henti memandangnya dan sang ibu dengan hina, bahkan tak segan-segan menyiksanya hanya karena matanya. Membuatnya membenci matanya sendiri.

Sampai suatu hari ia menemukan sang ibu tak bernyawa di gubuk kecil mereka dengan tubuh penuh darah. Tidak ada yang peduli, malah sepertinya mereka mensyukurinya meski dengan sembunyi-sembunyi. Saat itulah Nue menghampirinya, bertanya padanya, bahkan membantunya mengurusi mayat ibunya. Nue yang tertarik dengan matanya langsung mengadopsinya. Dia tidak keberatan. Dan saat Liam memutuskan untuk melatihnya agar bisa menjadi pembunuh, dia juga tidak keberatan. Bagi Silvar, mungkin itu salah satu cara untuk membalas kebaikan Nue yang sudah menginginkannya. Seperti ibunya.

Sentuhan di pipinya membuat Silvar kembali ke alam sadar. Gadis itu menatapnya khawatir. Hangat tangan itu menjalari pipinya. Sama seperti yang dilakukan ibunya, tapi rasanya lebih hangat. Lebih indah. Lebih menggetarkan.

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang