Chapter 23

2.8K 213 26
                                    

Warning 21+

Lucca merasakan kegelapan menyekapnya. Tubuhnya terasa melayang-layang. Beberapa saat kemudian, ia merasakan kakinya berpijak pada sesuatu yang dingin. Kelopak matanya terbuka perlahan, warna putih mulai menyerbu pandangannya. Ia menyadari dirinya berada di hamparan salju, entah dimana tepatnya.

Matanya mulai menangkap sosok seseorang. Itu Damian, mengenakan pakaian putih polos dan menatap ke arah lain. Pria itu menoleh pada Lucca seakan sadar diperhatikan. Bibir pria itu tersenyum, bukan senyum lebar atau menggda yang biasa diperlihatkannya. Itu sebuah senyum sedih, senyum yang tak cocok untuk pria menawan itu.

Rasa takut mulai merambati hati Lucca. Apa itu pertanda bahwa pria itu akan meninggalkannya? Sebuah perpisahan?

Seolah menjawab pertanyaan Lucca, sebilah pedang menembus dada Damian dari belakang. Lucca menjerit ngeri dan hendak berlari mendekatinya, namun sesuatu yang kasat mata menghalanginya langkahnya. Wanita itu hanya mampu menggedor dinding tak kasat mata itu, menangis tak terima saat melihat pria yang dicintainya sudah berlumuran darah dan jatuh begitu saja di tumpukan salju.

Saat itulah Lucca melihat sosok bertudung hitam yang menusuk Damian menyeringai sadis.

Mata Lucca sontak terbuka lebar. Ia segera mengangkat sebagian tubuhnya yang terbaring di sisi ranjang Damian. Pria itu masih terbaring lemah, bernafas dan tak berlumuran darah. Lucca menghela nafas lega seraya menggenggam erat tangan pria itu. Ia baru menyadari ada seseorang di sisi lain ranjang Damian. Itu Lotus, sedang membaca sebuah novel dengan suara seperti pendongeng.

…Sejenak, Leo membayangkan bagaimana Michaelangelo bekerja di atas balok-balok kayu yang disusun membentuk anak tangga. Memindahkan lukisan dari sketsa di atas kertas ke dinding langit-langit yang luas. Debu yang melekat mungkin saja jatuh menghujani matanya ketika sedang bekerja…

“Kau… baru datang?” tanya Lucca hati-hati. Dia tahu wanita itu membencinya karena selama ini tak pernah menyapanya.

…No victory without suffering. Pantas sekali jika pembuat dan mahakarya yang dibuatnya tetap dikenang sepanjang masa…” Wanita itu memberikan sisipan buku di halaman yang dibacanya sebelum menutup buku di tangannya. Mata hitam kebiruannya menatap tepat ke mata hijau emerald Lucca dengan dalam. “Cukup lama.”

Tak tahan – sekaligus tak berani – menatap mata itu lama-lama, Lucca memilih untuk menatap wajah tidur Damian. Begitu pucat, dingin, namun damai. Seolah alam mimpi terasa lebih memikatnya dibanding dunia nyata.

“Lotus, aku…”

“Panggil saja Seroja. Itu namaku.”

Lucca tersentak kaget dan menoleh tidak percaya. Tapi wanita itu tidak balas menatapnya, malah menatap wajah Damian. Berbagai pertanyaan menyerbu pikiran Lucca. Seroja alias Ageha? Jadi selama ini pengawal pribadi Damian adalah cinta pertamanya sendiri? Apakah pria itu tahu?

“Dia baru tahu identitasku setelah memergoki Anda berpelukan dengan mantan kekasih Anda,” ujar Seroja seolah menyadari pikiran Lucca. “Emosi membuatnya kacau dan itulah yang membuatnya memperkosaku dengan brutal. Dia merasa tidak terima dikhianati oleh wanita yang disayanginya.”

“Tapi tidak seharusnya dia berlaku seperti itu…”

“Dia seorang pemimpin dalam kelompok mafia, madame. Saat dia tahu ada yang mengkhianatinya, dia pantas memberi hukuman. Tapi… bagiku tidak sepenuhnya begitu. Dia masih belum bisa mengendalikan emosinya jika itu berhubungan dengan perasaan. Karena dia…”

Lucca terdiam saat Seroja menceritakan sosok Damian yang sebenarnya, ikatan darah antara Damian dan Seroja, kehidupannya yang kosong, peran Seroja sebagai pengawal sejak masih kecil. Ia terkejut, tidak percaya, dan sedih. Mereka kembali terdiam cukup lama saat Seroja menyelesaikan ceritanya. Lucca tak tahu harus mengucapkan atau melakukan apa. Secara naluriah, ia mengenggam tangan besar yang dingin itu lebih erat.

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang