Epilog

3.5K 241 50
                                    


Dua belas tahun kemudian...


"Kelas dibubarkan," ujar sang dosen sebelum berjalan kembali ke mejanya untuk membereskan peralatannya.

Kata-kata itu terdengar seindah para penyanyi paduan suara dan kicauan burung bagi para mahasiswa. Tak terkecuali Atila. Ia sudah bukan lagi seorang anak lelaki lemah yang harus mendongak untuk menatap lawan bicaranya. Anak itu sudah bertranformasi menjadi seorang pemuda rupawan dengan tubuh tinggi tegap yang mampu menginvasi pikiran para kaum Hawa hanya dengan keberadaannya.

Atila menghentikan langkahnya, meletakkan ranselnya yang berisi buku-buku tebal sebelum duduk di tepi air mancur. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jangan bilang dia terlambat.

"Atilaaa~"

Sapaan bernada fangirling itu membuat Atila mendongak. Ia mendelik melihat seorang wanita muda berlari ke arahnya seperti predator yang menemukan mangsanya. Saat wanita itu melompat untuk memeluknya, reflek Atila menghindar hingga wanita itu tercebur ke air mancur. Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal pada Atila setelah keluar dari sana. Beberapa mahasiswa tertawa geli melihat tingkah wanita usia dua puluh lima itu begitu childish. Merasa diperhatikan dengan tatapan mencemooh, wanita itu menunduk dengan ekspresi menahan tangis.

Tak tega melihatnya dan merasa bersalah, Atila menarik tangan wanita itu menjauh sambil memberi tatapan maut pada para mahasiswa seolah berkata, 'teruslah tertawa dan akan kupastikan itu jadi tawa terakhirmu'. Tentu saja itu berhasil membuat mereka bungkam. Tidak ada satu pun yang berani pada Atila karena ia adalah seorang ahli kick boxing yang handal.

Atila melepaskan tangan wanita itu setelah tiba di depan toilet. "Berhentilah menangis, kak Rangda. Cengeng sekali, sih."

"Aku tidak menangis," elak Rangda yang jelas-jelas bohong karena wajahnya sudah makin kuyup dengan air mata dan tangannya yang lain sibuk mengusap lendir di hidungnya.

Helaan nafas keluar dari mulut Atila. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengusap pelan wajah Rangda. Wanita ini sedang berusaha memasuk lingkungan masyarakat tanpa memegang senjata. Para psikolog berupaya keras agar wanita itu tidak terlihat sebagai psikopat jika sedang tidak 'bertugas'. Sayangnya, dia masih takut dengan pandangan orang-orang hingga masih harus diawasi.

Dan Atila yang sedang dalam masa pelatihan Death Shadow bertugas untuk mengawasinya.

"Kalau kak Rangda berhenti menangis, kakak tidak perlu menraktirku hari ini. Aku yang traktir."

Rangda mengangguk-ngangguk sambil mengusap matanya. "Parfait... dan ice cream. Masing-masing dua."

"Satu parfait saja. Hari ini ada pesta barbeque. Kakak tidak lupa, kan?" Atila menghela nafas lega saat melihat Rangda tersenyum dan mengangguk. "Bagus. Sekarang sebaiknya kakak ganti baju."

"Ganti dengan apa?"

Atila terdiam sejenak. Benar juga. Ganti dengan apa? Atila jelas-jelas tidak membawa baju ganti, kecuali seragam basketnya. Dan dia tidak mungkin membiarkan Rangda mengenakan seragam itu. Bukan karena bau atau kotor, seragam itu belum dipakai hari ini karena Atila tidak latihan basket untuk bisa ditraktir Rangda (meski sekarang jadi dia yang harus menraktir wanita itu). Tapi... Rangda benar-benar basah kuyup seutuhnya, dan jika Rangda mengenakan seragam basketnya tanpa dalaman, wanita itu akan jadi tontonan dan objek fantasi kotor para lelaki yang melihatnya.

Termasuk Atila sendiri.

Rangda terkejut saat Atila tiba-tiba melepas jaket kulitnya, ditambah lagi dengan kaus tanpa lengannya, membuat dada bidang dan otot sixpack-nya terekspos sempurna. Rangda merasakan panas menjalari wajah dan lehernya.

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang