Chapter 12

2.6K 248 32
                                    

Seroja tidak mengerti mengapa dua orang polisi berseragam membawanya pergi ke kantor polisi dan meninggalkannya di ruang interogasi. Dalam keheningan di ruang interogasi Seroja terdiam mengingat hal menyedihkan yang dialaminya. Seminggu lalu, seorang wanita paruh baya mendatanginya dan memberitahukan tentang pak Yana serta istrinya yang tewas. Seroja terkejut mendapati pria yang menjadi wali nikahnya sudah tak bernyawa, bahkan mulai membusuk.

Setelah menjalani sesi otopsi, mayat Pak Yana dan istrinya sudah dipulangkan tiga hari lalu. Polisi meyakini mereka berdua dibunuh dan Atila yang ditemukan bersembunyi di kolong tempat tidur kemungkinan melihat semua kejadian itu. Bocah malang itu masih gemetar ketakutan setiap kali psikiter anak bertanya. Anggraeni yang baru pulang dari karyawisata ke luar kota terpukul. Gadis itu tak henti menangis dalam pelukan Seroja saat mayat kedua orang tuanya dipulangkan.

Ini hari ketujuh mereka ditemukan. Seroja berniat membantu Anggraeni membuat acara tahlilan bersama warga sekitar. Namun ia terpaksa pergi karena dua polisi tadi membawanya.

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Hawa dan Arka masuk menghampirinya, Hawa duduk di kursi seberang meja sedangkan Arka berdiri di sampingnya.

“Aku tidak mengerti kenapa kalian memanggilku. Kalau kau ingin bicara denganku mengenai kematian pak Yana dan istrinya, katakan saja. Aku bersedia menemuimu atau datang dengan sukarela. Tidak perlu mengirim dua polisi berseragam ke rumahku.”

“Menurutku perlu,” jawab Hawa pendek. “Kau ingin didampingi pengacara atau kuasa hukum?”

“Tidak.” Seroja menatap Hawa dan Arka bergantian, bingung. “Sebenarnya ada apa?”

“Dimana kau saat pukul dua siang hingga empat sore hari ini?”

Dengan dahi berkerut, Seroja menjawab, “Aku meninggalkan Farfalla Café, mengunjungi rumah lamaku. Membawa beberapa buku lama milikku.”

“Kau yakin buku yang kau bawa? Bukan senjata? Kemudian mendatangi sebuah rumah dan membantai seluruh penghuni rumah.”

Apa?!

Wajah Seroja pucat, gadis itu segera berdiri. “Maksudmu apa?!”

“Duduk!” perintah Hawa dengan nada membentak. “Juniper Arumingratri ditemukan tewas bersama seluruh pelayan rumahnya oleh Nagihiko – suaminya, dua jam yang lalu. Gadis itu masih belum sadarkan diri dan ditemukan dalam keadaan lidah terpotong!”

“Dan kau menuduhku hanya karena aku tidak punya alibi? Kau menuduhku karena instingmu mengatakan aku ada kaitan dengan kematian Hana dan wali nikahku? Atau kau menuduhku karena aku adalah anak pembunuh?!”

Seroja terengah-engah karena semua teriakannya, menatap Hawa yang masih diam menatapnya tanpa ekspresi namun matanya sarat akan emosi. Bibir Hawa mulai bergerak, mengeluarkan suara, mengucapkan sebuah kata yang mampu membuatnya terbelalak kaget.

“Lotus.”

Saat melihat rasa terkejut di mata Seroja, Hawa tahu dia menang. Tanpa melepas pandangannya sedikitpun dari Seroja, Hawa mengulurkan tangannya pada Arka dan ajudannya memberikan sebuah tablet computer. Sambil menggerak-gerakan jarinya, Hawa kembali melanjutkan, “Terkejut aku mengucapkan codename-mu? Ingin tahu aku mendapatkannya dari mana?”

Hawa memperlihatkan layar tablet itu pada Seroja, memperlihatkan sebuah video pendek dengan resolusi rendah namun masih dapat terlihat jelas. Seorang gadis belia berambut merah panjang menembak tepat ke dahi seorang pria. Kemudian gadis itu berbalik pergi usai melempar setangkai bunga lotus ke arah korbannya.

“Kami menemukan micro memory card dalam mulut nona Juniper. Dan dalam laptop miliknya di kamar, kami berhasil mengecek aktifitas laptop tersebut. Di perangkat itulah nona Juniper mengunduh video ini dan mengcopynya dalam memory card.”

When The Darkness Calling BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang