2. Ingkar Janji

168 66 104
                                    

Aroma manis nan sedikit maskulin menusuk indera penciuman Reyshena. Perlahan, kesadaran gadis 16 tahun itu kembali. Sorot lampu warm light menusuk penglihatannya, yang semula gelap menjadi berwarna. Pupilnya bergerak ke kanan dan kiri, kemudian berkedip, dan melihat kembali objek yang ada di sekitarnya yang dominan berwarna coklat.

Asing. Sangat asing. Perabotan dengan desain klasik yang ada di sini bukan miliknya. Terlebih, terdapat infus yang terpasang pada tangan kirinya dan alat bantu nafas. Jika ini bukan rumah sakit, lantas ia ada di mana?

Ceklek!

Pintu kayu berukir dari ruang ini terbuka. Reyshena merasa ingin menghilang dari tempat ini karena pikirannya sudah lari kemana-mana. Namun, niat itu gugur karena tubuhnya yang masih lemah.

"Kamu sudah sadar?" tanya orang tersebut kemudian menggenggam tangan kanan Rey dan mengusap lembut punggung tangan gadis itu.

"Maaf, baru bisa ketemu sama kamu."

Reyshena menatap seseorang di hadapannya. Otaknya masih memproses siapakah sosok yang saat ini berperilaku lembut padanya. Tidak, harusnya dirinya menepis tangan itu, tapi mengapa hatinya enggan menyanggah pikirannya.

"Kamu, siapa?" tanya Rey dengan suara yang lemah.

Laki-laki yang mengenakan jas putih layaknya seorang dokter itu menghela nafas panjang. Ia sudah tahu respon apa yang akan diberikan oleh gadis itu ketika sudah sadar.

Dengan senyum yang hangat, laki-laki berjas putih itu mengenalkan dirinya. "Sepertinya memori ingatan kamu perlu saya bangkitkan lagi." Ia memberi jeda dan berdeham, "Perkenalkan, gue Alfareza. Sepupu lo yang dulu pernah musuhan sama lo gara-gara rebutan cewek sama tunangan lo sampai rela pergi ke Kanada buat nyusul mereka," tambahnya dengan logat yang diubah.

Reyshena menatap datar laki-laki di hadapannya. Sudah dibilang sejak awal, perempuan yang satu ini sedikit lemot kalau sudah berurusan dengan yang masa lalu.

"Sumpah, lo ga kenal gue? Perlu gue panggil Thama biar lo ingat?"

Seketika Reyshena mendelik dan melepas alat bantu nafasnya. Ia tersenyum haru. "Kak Thama udah pulang?"

Alfareza melengos, "Giliran si Thama, lo ingat. Pas ketemu gue hawanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kekeluargaan. Gue ini udah mirip kayak Abang lo woy!"

Reyshena menyegir. Ia tidak mungkin lupa dengan sepupunya yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya itu. "Maaf Mas Reza, bercanda hehe..."

"Bercanda lo bikin gue deg-degan tau, gue pikir lo beneran lupa sama gue. Aniways, sorry ya atas kesalahan gue di masa lalu. Gue sadar perilaku gue ke lo mirip anak TK yang kalau ga dituruti bakal ngerengek emosi ga jelas."

"Hahaha, ngga apa-apa Mas. Justru aku yang makasih banget karena Mas udah mau bicara dulu sama aku. Semenjak Mas nyusul Kak Thama, aku ngerasa bersalah karena Kak Thama dekat sama Kak Calista. Sekarang gimana? Udah dapat hatinya Kak Calista belum?"

Laki-laki yang terpaut 4 tahun dengan Reyshena itu tersenyum kecut, "Belum. Hati dia sekeras batu. Masih ngincar tunangan lo."

Seketika senyum Reyshena memudar. Ada rasa tidak suka dan khawatir menyelimuti relung hatinya.

"Jangan pikirin Calista. Gue panggil Thama ya, dia baru aja sampai dari bandara. Selamat melepas kangen, Dek!"

Alfareza pun keluar dari kamar dengan penuh senyum. Meski wajahnya masih tersirat rasa canggung, tapi sikapnya yang sekarang sangatlah berbeda dari yang dulu. Ah, lupakan Alfareza, mari beralih ke seseorang yang saat ini memegang paper bag yang berukuran cukup besar.

2021: EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang