-pre.
***
"APA??!" reaksi kaget yang menggema di ruangan 6x6 itu sepertinya bisa membangunkan singa tidur, kalau saja si pemilik suara tidak cepat-cepat menutup mulut.
"Berisik, ah!"
"Unnie!" Secepat anak panah yang menyambar, secepat itu pula lah tubuhnya yang semula bersandar pada balkon kamar, langsung mengambil posisi duduk di hadapannya yang sejak tadi memang ada di atas tempat tidur. "Serius???"
Gadis dengan setelan piyama baby pink itu mendecak halus. Tetap asyik mengikir kukunya seolah kabar yang sesaat lalu dia sampaikan pada sang adik bukanlah apa-apa. Dan, respon yang didapatkannya barusan terlalu berlebihan.
"Tapi... kau tidak menangis."
"Kau ingin aku menangis?"
Kepala sang adik kontan meneleng bingung. "Dulu-dulu kau sering menangis kalau sedang begini."
"Buat yang satu ini pengecualian."
"Yakin? Belum, mungkin. Taruhan besok pagi matamu akan sembab."
Gadis itu kembali mendecak. "Kenapa jadi sok tahu, sih??"
Tawa si adik kontan mengudara. "Habisnya... Apa memang alasannya?"
"Aku ketahuan berbohong."
"He??"
"Tidak usah pura-pura kaget! Kau tahu sejak awal apa alasanku."
"Oh... Jadi itu..."
Dengan senyum mengembang lebar, gadis itu mengangguk mantap.
"Damn. Kau jahat sekali."
"Lebih jahat mana dengan ucapannya dulu?"
Menghela napas dalam, sang adik kemudian berujar, "Padahal dia kelihatan sayang padamu."
"Kelihatannya saja, aslinya kan tidak."
"Masa sih? Atau jangan-jangan... kau tidak bisa membaca?"
"Membaca apa? Lagian kenapa sekarang kau malah jadi berpihak ke dia, sih? Harusnya kan kau senang! Temannya jadi tidak bisa mengganggumu lagi."
"Ahh... kau mengingatkanku lagi pada si belut listrik itu."
Kali ini gantian tawa milik sang kakak yang menggema. "Dia baik, tahu! Tidak seperti yang itu."
"Ck. Lupakan. Jadi, kalian sudah benar-benar putus sekarang?"
"Sudah... Apa perlu aku umumkan di media sosialku sekarang? Hm? Biar orang-orang juga tahu."
"..."
Hening kemudian menjeda. Sang adik masih kelihatan belum percaya, sementara sang kakak sudah yakin pada keputusannya tadi siang.
Keduanya lantas terperangkap dalam sunyi. Saling melempar pandang pada satu sama lain. Sampai berpuluh-puluh detik kemudian, pertanyaan dari sang adik kembali mengisi kekosongan.
"Kau... sudah merasa puas, Cho Hyun-Ji?"
***
Tiga kepala yang ada di sana saling melemparkan pandangan pada sosok laki-laki yang sejak awal kedatangannya merebut atensi. Bukan karena raut wajahnya yang kusut, bukan juga karena rambutnya yang sudah tidak tertata rapi seperti yang seharusnya. Melainkan karena cara laki-laki itu menyerang lawannya dari layar TV.
Menyadari teman karibnya menjadi sangat anarkis malam ini, sebagai yang masih waras, salah satu diantara ketiga laki-laki itu—yang sejak tadi menjadi pengamat juga—mencolek temannya yang sedang memegang stik PS lain agar mau mengalah.
"Cepat," bisiknya pelan.
"Tapi ini—"
"Kau bisa membaca situasi tidak?" balasnya sewot, namun masih tanpa suara.
Merasa tidak terima, laki-laki berkulit sedikit gelap itu kontan melotot. Dia tahu, dia bisa membaca situasi kok. Tapi masa iya dia harus merelakan jagoannya kalah hanya untuk orang yang sedang patah hati?
Maka, dengan sepasang mata yang dibuat juling—alias meledek—laki-laki itu menolak permintaan tadi. Dan, berakhir dengan...
"Shit!"
Umpatan keras yang disusul oleh bunyi stik yang terlempar di atas karpet, menjadi penutup ketegangan di sebuah apartemen bertipe studio itu. Tidak ada yang berani bicara setelah itu—bahkan untuk sekadar menawarkan minum agar emosinya sedikit mereda.
Yang perlu diketahui di sini, diantara mereka berempat, Jeno lah yang paling pandai menahan segala jenis emosi negatif. Entah itu perasaan kesal, marah, takut, ataupun menangis. Makanya, agak sedikit mengherankan bagi ketiga laki-laki lainnya melihat Jeno bisa seemosi tadi
"Kau terlalu keras pada dirimu," ujar Jaemin pada akhirnya. Laki-laki itu memberikan sekaleng bir yang baru saja diambilnya dari dalam kulkas, dan diterima oleh Jeno tanpa ekspresi.
"Bukan sesuatu yang mengagetkan kalau Jia berulah lagi." Jun menyampaikan pendapatnya. "Iya, kan?"
Jeno memejamkan matanya erat. Menyandarkan kepala pada bibir sofa.
"Nanti juga balikan," sahut Haechan santai. "Harus, sih. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mendekati adiknya nanti."
Jun melempar bantal sofa ke wajahnya. Di saat teman sedang patah hati begini, bisa-bisanya masih memikirkan diri sendiri.
Namun, tak dapat dielak, kalimatnya barusan berhasil membuat Jeno tertawa—meski hanya dua detik. "Jia itu... susah ditebak. Seperti... ada saja yang dibuat-buat olehnya."
Jaemin tersenyum kalem. "Yang ini berbeda, ya?"
"Lima bulan. Rekor terlama ya, Je?" timpal Jun mendukung.
Jeno mengangguk pelan. Mengusap wajahnya yang sudah kusut sekali lagi.
"Hebat juga dia," ujar Haechan dengan tawanya. "Sudah melakukan apa saja memang sampai kau frustrasi begini?"
"Kau!" Jun langsung menepuk bahunya keras.
"Apa, sih? Aku cuma bertanya. Tidak dijawab juga tidak apa-apa."
"Temanmu sedang butuh support! Daripada menanyakan yang tidak-tidak, lebih baik kasih solusi!"
"Yaa siapa tau dari apa yang pernah mereka lakukan, bisa jadi solusi."
"Wah, sinting anak ini."
"Memang. Kan, yang paling benar cuma kau."
Jaemin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kedua bibir terangkat, sementara Jeno masih tidak memberikan reaksi. Sepertinya kali ini laki-laki itu benar-benar patah hati.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Jaemin kemudian.
"Belum tahu. Dia sudah minta putus juga."
"Kau bisa mengejarnya lagi."
Jeno mengedikkan kedua bahunya seraya berdiri. "Let's see."
[]
Kalo ada yg bingung kenapa What If dipisah-pisah works nya. Buat yg di works Wonderwall itu khususon series yang KyuSena nya masih semasa belum punya buntut. Kalo yang di sini tentu saja sudah.
tapi buat Fire x Gasoline ini lebih fokus ke Jia-Jui pas udah gede yaa ehee
KAMU SEDANG MEMBACA
life after you | ✔️
Ficción GeneralStaring : Cho Kyuhyun x Lee Sena Dulu, mereka dikenal sebagai keluarga yang paling bahagia. Menyecap canda - tawa bersama, serta berbagi sedih ala kadarnya. Namun kala duka datang dan mengacaukan segala, bisakah mereka dan bahagia tetap ada? ❤ Bahas...