・*:.。.・ [ Selamat membaca ] ・.。.:*・
⏳
Lavi meraih tangan kiri Javin dan menggenggamnya dengan kedua tangan. Ia menyelipkan sesuatu di dalam kepalan tangan Javin. Javin hendak melihatnya, namun dengan sigap Lavi menahan sembari tersenyum. "Javin, this is for you. I hope this restaurant will be a good fortune for you in the future. I will continue to support your endeavors. So, you must be passionate about life."
Javin bersumpah, senyuman Lavi saat itu bahkan terlalu indah hingga mengalahkan ribuan senyuman yang pernah perempuan itu lempar padanya.
"Lavi, ini apa?" pelan Javin, matanya tertuju pada tangan Lavi yang masih setia menggenggam tangannya.
Mendengar itu, Lavi hanya tersenyum. Perlahan ia melepaskan tangannya, kemudian menyuruh Javin untuk mencari tahu sendiri tentang sesuatu yang Lavi berikan. Betapa terkejutnya Javin saat melihat ada dua kunci dalam satu rangkai. Lagi-lagi ia termenung memandangnya selama beberapa saat, hingga Aran menyenggol lengan Javin untuk kembali fokus.
Lavi menyadari keberadaan Aran yang berdiri malu-malu di belakang Javin. Ia sedikit memiringkan kepalanya sampai nampak jelas secara keseluruhan seperti apa perawakan adik tiri sahabatnya yang belum pernah ia temui. "Hai! Kamu pasti Aran, kan?"
Aran mengangguk. Hanya mengangguk, tidak lebih. Ia justru semakin bersembunyi di belakang tubuh besar sang kakak. "Kakak, kak Lavi, bukan?"
Lavi mengangguk. "Pasti kakak kamu yang kasih tau?"
"Kakak sering cerita," jawab Aran.
Lavi terkekeh kecil mendengarnya, lalu kembali terfokus pada Javin. "Terima, ya. Buat kamu dari kita semua."
Jujur saja, Javin masih bingung dengan situasi yang terjadi. Tiba-tiba Lavi memberikan kunci padanya dan mengatakan bahwa kunci tersebut untuknya. Dan juga terlalu ramai hanya untuk sekedar memberinya kejutan semata. Ia pun tidak tahu kejutan ini dilakukan dalam rangka apa.
"Resto ini, punya kamu Javin."
Sejenak Javin menulikan pendengarannya, ia terdiam. Pandangannya kosong, namun Lavi bisa melihat dengan jelas airmatanya yang mulai menumpuk sedikit demi sedikit. Arutala mendekat dan berdiri di samping Lavi. "Kita percaya kamu pasti bisa mengurus resto ini dengan baik," ucap Arutala sembari memegang pundak Javin.
"Kamu serius?" Javin menatap Arutala, kemudian beralih menatap Lavi. "Gak mungkin ada orang yang bisa dengan mudah ngasih modal kayak gini."
"Ada." Nata menyahut dari belakang Javin. "Sorry, tiba-tiba perut aku sakit, jadi, tadi ke kamar mandi dulu."
"Gak ada yang mustahil di dunia ini kalo Tuhan udah bertindak, Vin," lanjut Nata. "Contohnya, ini."
Dengan wajah memelas, Javin menunduk, bahunya merosot lemas. "Aku ini sahabat macam apasih? Bisa-bisanya ngerepotin kalian terus."
Menggantikan Arutala, Lavi kini memegang kedua pundak Javin. "Ngerepotin darimana?" Ia menatap sahabatnya itu dengan tegar seakan ia ingin menyalurkan ketegaran itu pada Javin. "Kamu sahabat terkuat yang mengajarkan banyak hal yang tidak aku ketahui tentang kejamnya dunia ini."
"Seorang laki-laki penuh lebam yang aku jumpai di bawah hujan deras." Lavi melanjutkan. Wajah Javin terangkat kembali dan langsung membalas tatapan Lavi. Lagi-lagi, Javin harus terhipnotis dengan tatapan itu. Tatapan yang mengingatkannya pada momen pertemuan pertama mereka.
"Kamu punya kesempatan untuk bangkit, Vin. Buktikan bahwa kamu bisa, kamu kuat, dan kamu hebat! Jangan menyesal untuk lahir ke dunia ini walaupun tidak sesuai dengan keinginan. Asal kamu tau, aku beruntung punya sahabat kayak kamu, Vin."
KAMU SEDANG MEMBACA
ʜᴀᴘᴘɪᴇʀ ᴛʜᴀɴ ᴇᴠᴇʀ
Fanfiction『 Book One 』 Percayakah kamu bahwa ada keajaiban yang bisa membawa mu ke masa lalu setelah kematian? Lavia percaya akan hal itu, karena dia sendiri yang mengalami keajaiban tersebut. Setelah terbunuh oleh suaminya sendiri yang gila harta itu, ia ke...