8. Malam Bersama.

786 90 29
                                    

[8]

Apa yang lebih bodoh dari nilai 30 di pelajaran matematika?
Ya. Mencintaimu.
Adalah hal paling bodoh yang kulakukan.
Perdayamu buatku berlutut.
Hingga aku tak dapat menuntut.

.

.

.

Apa yang kau pikirkan ketika orang asing menarik ujung bajumu. Mungkin ketika kau berusia delapan tahun, itu sering kau lakukan pada Ibumu yang sedang mencuci piring. Kau merengek karena menginginkan sesuatu hingga Ibumu mengalihkan perhatiannya padamu. Nyaris sama, namun dengan suasana yang berbeda. Mile tak merengek seperti bayi laki-laki, tapi dia menarik ujung baju Apo untuk dilepaskan.

Gila, ini adalah hal gila yang pernah Apo lakukan. Sepanjang tujuh belas tahun hidup di dunia ini, tak pernah sekalipun ia menonton sinetron atau film percintaan orang dewasa. Roman picisan itu hanya akan membuatnya dewasa sebelum waktunya. Film kartun yang lucu dan komik action dengan imajinasi penuh sudah menjadi kesehariannya. Bahkan musik pop yang dinyanyikan remaja puber pun ia hanya dapat menikmati, namun sangat payah dalam mengartikan liriknya. Dia masih bersih. Ruangnya terbatas. Itu membentuknya sebagai anak yang tumbuh remaja dengan apa adanya. Ekplorasi mengenai dunia luar enggan dipijaknya. Apo terlalu bergulat dengan zona nyamannya selama ini.

Tapi tidak untuk malam sekarang. Ketika Mile melepas bajunya dan hawa dingin menyergap tubuhnya. Apo reflek menutupi dada dengan kedua tangannya. Itu membuat Mile tertawa kecil karena ekspresi panik Apo yang lucu.

"Kenapa, sih?"

"Malu."

"Hanya ada aku kenapa mesti malu."

Mile mengambil handuk dan memberikannya pada Apo. "Berganti bajulah di sana," tunjuknya pada kamar mandi dalam miliknya. "Aku mau ganti baju di sini."

Apo melongo sesaat, namun segera mengangguk dan beranjak ke kamar mandi. Di dalam, setelah ia menutup pintunya, Apo bernafas lega. Tadinya ia kira Mile akan melakukan sesuatu padanya. Untung saja Mile masih waras. Hanya pikirannya yang tidak waras. Apo memukul kepalanya sendiri. Mengenyahkan pikiran yang tidak-tidak.

Sementara Apo masuk ke dalam kamar mandinya, Mile segera bersiap diri memakai bajunya. Hingga ponselnya bergetar mengalihkan perhatian. Sebetulnya Mile malas mengangkatnya, karena itu dari Ayahnya. Tapi apa boleh buat, sebagai anak yang berbakti pada orang tua, ia mengangkat telponnya.

"Ya, Pho?"

"Kepulangan Pho ditunda kurang lebih sampai dua minggu kedepan."

Mile ingin tertawa mendengar sang Ayah justru mengabarkan hal yang sudah sering ia dengar.

Bersamaan dengan itu, Apo selesai berganti baju dan keluar dari kamar mandi. Ia menemukan Mile tengah memakai jaket jeansnya sembari berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

"Sebulan juga tak apa. Bukannya sudah biasa Pho tidak pulang?"

"Kau harus mengerti, di sini kerjaan Pho sangat banyak."

Mile mendecih. "Sangat banyak? Emang ada berapa banyak wanita yang harus dikerjakan?"

"Jaga ucapanmu! Pho di sini berbisnis, cari uang buatmu juga! Pokoknya, selama Pho tidak ada di rumah, jangan macam-macam! Tingkatkan lagi itu akademikmu. Biar nggak malu-maluin nama keluarga."

Tanpa sadar tangan Mile mengepal erat. Giginya bergemeletuk. Nafasnya memburu kesal.

"Aku selalu meningkatkan akademikku. Memenangkan olimpiade, mengikuti banyak organisasi dan perlombaan lainnya. Tapi apa pernah kau bangga padaku karena itu? Tidak. Justru Pho sibuk mengingatkanku untuk tidak membuat malu. SUDAH KU KATAKAN APA PERNAH AKU MEMBUATMU MALU?!" Mile meninggikan nadanya di akhir kalimat. Apo yang berada di belakangnya pun terperanjat. Baru ini ia mengetahui fakta lain dari si kakak kelas. "Kenapa? Kenapa aku yang harus jaga image sementara dirimu melakukan hal yang memalukan dengan seenaknya? KENAPA?!"

ENDORPHIN [MileApo - Mpreg]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang