5

63 29 95
                                    

Sejauh ini aku hanya ingin mengenal tentangmu saja.

~Pelangi.

"Pelangi ... Pel," langkah Pelangi seketika berhenti saat ia hendak menuruni tangga, dirinya melihat seseorang laki- laki, berlari kearahnya demi menyamparinnya.

"Mau pulang sama gw gak?" tanya laki laki itu dengan nada yang cukup tinggi.

"Ga!" tegas Pelangi singkat, padat.

"Ayolah, Pel," tangan Arvio ingin memegang lengan tangan Pelangi, namun itu tak jadi.

"Pulang sama gw, gw anterin elu-" Arvio belum sempat melanjutkan kalimat yang ingin ia sampaikan, Pelangi langsung memotong ucapan Arvio.

"Ke rahmatullah?"

"Heh. Congornya dijaga ya."

"Duh, tapi makasih deh, bawa motor sendiri gw, lagian gw mau jemput bestie gw lagi."

"Emang elu punya besti ya?"

"Ya punyalah, ya kali kgak punya. Emangnya elu? Band elu aja gak nganggap elu bestie mereka, karena itu tingkah elu," ucapan yang asal keluar dari mulut Pelangi ternyata membuat Arvio terdiam, ekspresi wajahnya menjadi seorang yang tidak mood mendengar ucapan Pelangi, ia pergi melewati dari samping Pelangi.

"Aneh, aghh sudahlah. Lagian aku harus ke sekolah Dea, buat ngejemputnya."

Setelah melakukan beberapa menit perjalanan Pelangi pun sampai di sekolah Dea, ia melihat Dea sedang berada di pos satpam duduk menunggu sambil main hp. "Oiiy besti..." teriak Pelangi semerdekanya, sambil melambaikan tangan ke arah Dea.

Begitu pun dengan Dea membalas lambaian itu, Dea langsung bangkit berlari ke Pelangi.

"Kok elu lamasih?"

"Macat, nih helm lu buruan pakai," sekalian Pelangi memberikan helm buat Dea.

"Udah belum, gw mau balap ini, jangan lupa pengangan," ujar Pelangi menggaskan motornya.

"Oke, pokoknya lo harus bisa ngimbangin si itu, siapa namanya Pel? Yang pembalap itu?"

"Cristian ronaldokah?"

"Gak tau pokoknya buruandah, siapa pun itu elu harus bisa ngimbangin ya?"

Akhirnya Pelangi menjalankan sepeda motornya, ia membawa motor dikecepatan rata rata tak seperti yang pelangi omongkan tadi, sesampainya mereka di lintas suasana benar benar membuat bosan bagaimana tidak lampu merah, ditambah macatnya jalanan perkotaan membuat mereka harus sabar.

"Duh bosan," keluh Dea.

"Sama."

Banyaknya speda motor berada di sisi kanan, dan kiri mereka memadati jalan raya tersebut, apa lagi asap dari angkotan umum, kleksonan speda motor yang tak sabaran, dan drama lainnya.

"Pak, mau kemana?" tanya Dea kepada pengemudi motor di samping kiri mereka.

"Mau pulang dek," sahut pengendara itu.

"Rumah bapak di mana?"

"Di jalan M. Yamin dek."

"Owwh," selesai ngobrol dengan orang itu, Dea beralih ngobrol dengan orang di samping kanannya, orang itu terlihat muda mungkin saja dia seorang mahasiswa.

"Bang," sapa Dea.

"Lu ngomong sama siapasih?" tanya Pelangi dari depan yang sedang membawa motor.

"Oranglah, ya kali sama setan gw gak bisa ngelihat begituan."

"Ia dek," sahut abang abang yang di panggil Dea tadi.

"Abang kuliah atau kerja?"

"Kuliah."

"Ouuwh sudah semester berapa bang?"

Orang itu menjawab menggunakan isyarat tangan membuat jari jarinya menjadi angka 7.Begitu pun seterusnya setiap ada yang mendekat baik sisi kanan, atau kiri, Dea selalu mengajak pengendara itu ngobrol sampai drama permacatan jalanan ibu kota ini berakhir. Setelah sekian lama mereka berhasil keluar dari macat.

Selama perjalanan keduanya bernyanyi- nyanyi tidak jelas liriknyalari kesana kemari, tidak sesuai irama nada, dan terkadang mereka juga menyapai orang orang yang tak di kenal.

"De!"

"Apa?"

"Kamu bingung gak?"

"Kenapa memangnya, Pel?"

Macat kembali terjadi di persimpangan.

"Gak tau," balas Pelangi dari pertanyaan menanyakan bingung itu.

"Aneh."

"Nah bingungkan, aku bingung, kamu bingung, bapak bingung gak? Tanya Pelangi ke orang di sampingnya, semua orang memang bingung, De.
Nanti pas di akhirat baru gak bingung."

"Ia gw bingung sekarang," Dea menggaruk rambutnya yang tak gatal.

Dia tua asa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang