27

10 1 0
                                    

Dunia harus tau bahwa cewek tercantik, termanis yang ada di dunia ini hanyalah Pelangi.

~Arvio.

Lirik demi lirik, akhirnya selesai ditulis oleh Arvio di dalam laptopnya. Ia benar-benar membuat lirik mengenai Pelangi, judul lagu ciptaannya sendiri, yang ia beri nama "Puisi Pelangi."

"Sial, Pelangi! Aku kira membuat lirik lagu itu sulit. Namun, nyatanya hal sulit sebenarnya adalah mencintaimu," ujar Arvio sambil memandangi layar laptopnya.

Pelangi, wanita berisik yang berhasil membuatku jatuh cinta, adalah wanita dengan segala puisi, tulisan, dan keindahan yang ia miliki. Aku mencintainya," ungkap Arvio dengan senyuman.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Arvio turun ke bawah.

"Pak, aku mau ikut lomba band lagi," ujar Arvio berdiri di depan lelaki itu.

Namun, respons Bapak Arvio tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Lelaki itu malah marah, menghafalkan tangannya lalu menghantamkan ke tembok seperti orang yang tak tahan mendengar kabar anaknya.

"Kamu kira saya akan mendukungmu untuk ikut? Jangan harap kau akan menang, anak kurang ajar! Kau hanya anak tak berguna yang kubesarkan," ucap Bapak Arvio dengan nada membentak. Ungkapan-ungkapan penuh kebencian terus keluar dari mulut pria itu, tanpa memikirkan perasaan anaknya sedikit pun.

"Pah! Papa, kenapa tidak pernah menghargai aku? Kenapa tidak pernah mendukung aku? Papa selalu menyakitiku, merendahkan aku!" teriak Arvio dengan air mata mengalir.

Anak remaja itu tak pernah membentak orang tuanya sebelumnya. Namun, kali ini emosinya meluap-luap.

"Kurang ajar!" Plak...

Seketika tamparan keras mendarat di pipi Arvio.

"Anak tidak tahu diri! Kau sudah berani membentakku? Pergi dari rumah ini sekarang! Aku muak melihat wajahmu, anak kurang ajar! Sungguh, aku menyesal punya anak seperti kamu yang hanya tahu main musik saja! Kamu sama sekali tidak punya prestasi!" teriak papa Arvio penuh emosi.

"Keluar dari rumah ini sekarang!" Bentak lelaki itu.

Dan tanpa aba-aba, Arvio pun keluar. Ia menutup pintu dengan membantingnya begitu keras.

"Aghh," Arvio menendang angin, begitu sangat emosi.

"Buat malam ini, gue nggak tau harus ke mana. Apa gue ke sekolah aja ya, numpang tidur di tempat band," batin Arvio.

"Tapi mana mungkin, pintu pagar sekolah aja di kunci," pikirnya dalam hati. Akhirnya, Arvio beristirahat sejenak di depan sebuah toko, karena ia sudah capek memikul tas yang ada di pundaknya.

Sambil duduk di depan toko, Arvio mencoba mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Beban pikiran yang dialami sepanjang hari membuatnya merasa putus asa.

Tiba-tiba dari toko tersebut keluar seorang laki-laki yang tak lain itu adalah teman Arvio, Oana. Melihat Arvio yang berada di sana, Oana menghampiri Arvio di bangkunya itu.

"Arvio," sapa Oana.

"Elo?"

"Kamu ngapain di sini?"

"Seperti yang lo lihat, harusnya lo nggak nanya lagi kan, kocak lo," cetus Arvio malas.

Oana memandangi Arvio dari atas ke bawah, melihat tas Arvio, Oana langsung paham bahwa Arvio diusir.

"Ar, lo diusir?" tanya Oana memastikan.

"Yaps, seperti yang elu lihat, gue diusir dari rumah dan gue nggak bawa ATM gue."

Melihat kondisi temannya tersebut, Oana merasa iba. Ia pun mencoba memberi dukungan pada Arvio.

"Tenang aja, Ar. Gue bakal bantu lo cari tempat nginep buat malam ini. Kita bisa ngobrol dan menyusun strategi buat atasi masalah lo," ujar Oana sembari menepuk-nepuk bahu Arvio.

"Elo mau bantuin gw?" melirik Oana.

"Ia, Ar, bagaimana pun kita adapah teman."

"Gw ga butuh bantuan lo," Arvio bangkit dari tempatnya ia pun memutuskan pergi dari situ tanpa memperdulikan Oana.

Dia tua asa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang