(Cerita ini sudah bisa dibaca lengkap di Karya Karsa: Wihelmina Miladi)
Sesampainya di rumah, Nara langsung memasukan belanjaannya ke dalam kulkas. Dia kemudian bersiap memasak soto sesuai permintaan dari Evans.
"Tadi siapa?" tanya Evans yang datang ke dapur untuk mengambil minuman dingin di kulkas.
"Yang mana?" ujar Nara santai.
"Pria yang di super market."
"Oh, Farhan. Dia teman mba waktu sekolah dan kuliah."
"Oh."
Setelah mendengar jawaban dari Nara, Evans memilih untuk tidak menanyakan lebih detail lagi. Evans pergi ke ruang santai untuk bermain video game. Waktu terus berjalan, Evans yang asyik bermain kini merasa perutnya keroncongan.
"Evans, nih sotonya udah jadi."
Mendengar Nara memanggilnya, Evans langsung bergegas menghapiri Nara di ruang makan. Dia dapat mencium aroma yang benar-benar menggugah selera makannya.
Evans segera menyantap soto buatan Nara, saking enaknya dia makan begitu lahap dari biasanya. Nara tersenyum melihat Evans yang terlihat menikmati makanan yang ia buat.
"Kalau kamu mau nambah, masih ada banyak kok."
"Mau, bikin satu porsi lagi dong!" pinta Evans.
Dengan senang hati Nara membuatkan satu porsi soto lagi untuk Evans. Kali inipun Evans menghabiskannya dengan lahap. Setelah selesai makan, mereka melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Nara kembali ke kamarnya, dia lumayan sibuk memeriksa PR anak-anak didiknya. Sedangkan Evans bermain ponsel di kamarnya. Dia sudah merencanakan akan pergi secara diam-diam dengan menyogok satpam untuk tutup mulut.
Sampai akhirnya tiba waktu yang Evans rencanakan, Nara benar-benar tidak ke luar dari kamarnya. Itu karena di rumah Evans setiap kamar memiliki kamar mandi sendiri di dalam. Jadi paling Nara ke luar hanya untuk mengambil air atau cemilan.
Dengan menggunakan taksi, Evans berhasil sampai di klub malam tempat para sohibnya mengajak berparty.
"Wih, datang juga loe, Vans!" ujar Jordy salah satu sohib geng Evans.
"Iya tuh, kirain gak datang karena takut sama ancaman papanya." Elvano ikut angkat bicara.
"Bokap sama nyokap gue kebetulan lagi pergi ke luar kota, kemungkinan sih lama. Jadi ada kesempata gue kabur."
"Mantap, enjoy kita sampai pagi, toh besok libur sekolah 'kan tanggal merah."
"Gak sampai pagi juga, Bro. Yang ada gue bisa ketahuan sama Nara, entar diaduin lagi sama bokap nyokap gue." Evans tentu saja tidak ingin ambil resiko.
"Oh iya lupa, loe tinggal bareng sama Bu Nara, gue lupa." Jordy menepuk jidatnya.
"Evans!" pekik Fiona terlihat begitu riang kala melihat pujaan hatinya hadir.
"Girang banget loe, Fi." Elvano menyindirnya.
"Hehe kaya gak tahu aja loe, El." Fiona hanya tertawa menanggapi Elvano.
Tidak lama kemudian muncul beberapa wanita yang menghapiri meja mereka. Target mereka adalah menggoda para pria tampan. Elvano yang pada dasarnya playboy tentu saja tidak menolak. Sedangkan Evans menolak dengan dingin, karena dia merasa risih.
Hal itulah yang membuat Fiona semakin menyukai Evans. Selain tampan, berasal dari keluarga kaya, jago main basket, popular, tapi alasan utamanya karena Evans berbeda dengan kebanyakan pria. Meskipun banyak gadis cantik yang mengejarnya, Evans tidak seperti Elvano yang memanfaatkan hal itu dengan menjadi playboy. Evans justru malah dingin dan menolak para gadis yang mengejarnya. Sikap cool bak kulkas dua pintunya itulah yang membuat Fiona makin jatuh hati.
Semakin malam keadaan makin tidak terkendali, teman-teman Evans satu per satu teller setelah menenggak minuman keras. Sedangkan Evans tidak mau minum, dia takut ketahuan oleh Nara dan dilaporkan pada orangtuanya. Bisa-bisa semua fasilitas Evans akan ditarik.
"Cemen loe, Vans, masa satu gelas aja gak mau." Elvano meledeknya.
"Banci loe!" ujar Jordy.
"Bacot loe pada, dari pada gue kehilangan kemewahan, mending gak usah minum."
"Setenggak doang gak akan ngebuat loe tiba-tiba teler, Vans!" ujar Elvano menyodorkan gelasnya.
"Cuma buat nyobain rasanya doang, setegak mah gak akan mabok!" ujar Jordy.
Karena terus dipaksa, dan Evans memang merasa penasaran dengan rasanya. Dia akhirnya meminum seteguk dari gelas Elvano. Tiba-tiba kepalanya pusing, dan ada rasa panas yang menjalar dalam tubuhnya. Evans merasa risih, dia ingin pulang dan langsung berendam air dingin.
"Gue balik!" ujar Evans sempoyongan.
"Ah, gak asyik loe!" ujar Jordy.
"Aku anterin, Vans." Fiona menawarkan diri.
"Gak usah, gue naik taksi." Dengan cepat Evans ke luar, dia pulang dengan taksi.
Semakin lama tubuh Evans merasakan panas dan gejala yang aneh. Ternyata tadi miniman Elvano diberikan obat perangsang oleh wanita yang mengincarnya, tapi sialnya Elvano malah menyodorkan minuman itu pada Evans. Dan meskipun Evans hanya minum satu teguk saja, tapi tetap bereaksi padanya.
Ketika sampai di depan rumahnya, Evans langsung membayar ongkos taksi dan langsung masuk ke rumah. Dia merasa haus, segera Evans pergi ke dapur untuk mengambil air dingin yang ia harap bisa menghilangkan gejala aneh dalam dirinya.
Ternyata di dapur ada Nara yang juga tengah terbangun dan mengambil air minum. Nara terlihat kaget melihat Evans. Berbeda dengan Evans yang menatap Nara dengan tatapan nakal. Apalagi saat ini Nara mengenakan gaun tidur yang membuatnya terlihat begitu merangsang Evans.
"Kamu dari mana?" pekik Naraya.
Tanpa babibu, Evans langsung mendekati Nara, ia menarik Nara dan menciumnya dengan rakus. Dalam beberapa saat Nara terdiam karena kaget dengan situasi yang aneh dan begitu mendadak ini. Lalu setelah sepenuhnya sadar, Nara langsung berusaha melepaskan diri dari ciuman Evans yang menggebu.
Ya, Evans memang melepaskan ciuman bibirnya, tapi ia kemudian menyeret Nara naik ke atas, ke kamar mereka. Evans menyeret Nara masuk ke kamar milik Evans.
"Evans, kamu mau apa? Sadar, aku ini mba Nara."
"Aku tahu kamu Nara, tapi jiwa dan ragaku saat ini benar-benar sangat mendambakanmu." Suara Evans terdengar parau.
Dia seketika melepas bajunya, membuatnya bertelanjang dada. Memang tubuh Evans sudah terbentuk meskipun dia masih SMA. Itu karena Evans rajin olahraga sejak dulu. Evans juga sering pergi ke gym, itulah sebabnya tubuhnya atletis, kalau bahasa gaulnya Evans punya roti sobek kotak-kotak.
"Evans, aku mohon sadarlah!" pekik Nara sembari meronta saat Evans kembali mendekatkan dirinya.
Tampaknya Evans tidak mendengarkan permintaan dari Nara, dia tetap melakukan hal tidak senonoh pada gadis itu. Kini ciuman Evans turun ke area leher Naraya.
"Lepas!"
Dengan isak tangis kepedihan Nara berusaha melepaskan diri dari kungkungan Evans. Namun sayangnya tenaganya tetap masih kalah dengan tenaga Evans yang dikuasai gairah.
Nara tidak menyangka, lelaki yang dulu ia anggap sebagai adik kecilnya, yang bahkan sampai beberapa saat yang lalu Nara masih menganggapnya begitu. Tapi kini Evans berada di atas tubuh Naraya dengan tanpa pakaian dan melakukan tindakan tidak sopan padanya.
"Aku ingin lebih, aku menginginkamu lebih dari sebatas ini." Tatapan Evans terlihat sayu, suaranya berat seperti sedang menahan hasrat.
"Evans, cukup!" pekik Naraya.
"Aku menginginkan dirimu, seutuhnya, Naraya," bisik Evans parau sambil menggigit daun telinga Naraya yang menyebabkan rasa merinding disekujur tubuh gadis itu.
"Tolong ... tolong ...." Nara berteriak minta tolong dengan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya begitu lemas, karena rasa terkejut, ketakutan hebat, dan rangsangan dari Evans.
"Haha, percuma kamu berteriak, di rumah ini hanya ada kita berdua sekarang."
"Tolong!" pekik Naraya lagi dengan keras sampai suaranya serak.
Evans langsung mencium bibir Naraya lagi dengan paksa untuk menghentikan teriakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Murid Nakalku
Romance"Apa yang kau lakukan, Evans. Jangan bertindak tidak sopan, ingat, aku adalah gurumu!" -Naraya- "Di sekolah, kamu memang guruku. Tapi di atas ranjang, kamu adalah istriku. Ingat itu, Naraya!" -Evans- Follow akun Wattpad ini sebelum baca! Follow Inst...