(baca lebih awal di Karya Karsa: Wihelmina Miladi, sudah tamat di sana)
Terdengar suara pintu dibuka dengan begitu keras. Terlihat dua orang yang mengenakan pakaian tidur itu tampak kaget menyaksikan pemandangan di depan mata mereka.
"EVANS!" bentak seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah papanya Evans.
Ternyata orangtua Evans tidak jadi menginap lama di luar kota, mereka tadi sudah pulang tidak lama setelah Evans pergi naik taksi.
"Kamu apa-apaan, Evans!" bentak mamanya murka.
Evans tercengang mengapa kedua orangtuanya ada di rumah. Dia mengusap kasar wajahnya yang terlihat begitu frustasi. Tentu saja, bagaimana tidak frustasi, Evans saat itu gairahnya sedang berada dipuncak, tapi ternyata harus dipaksa berhenti begitu saja. Belum lagi ternyata dia dipergoki oleh orangtuanya sendiri.
"Kok kalian ada di rumah sih?" ujar Evans menahan kesal.
Tanpa aba-aba, papa Evans langsung menarik Evans menjauh dari Naraya dan langsung memukulnya. Sedangkan mamanya Evans langsung mendekati Naraya, menyelimuti Nara dan memeluknya untuk menenangkan Naraya.
"Sadar kamu, Evans. Apa yang barusan kamu lakukan pada Naraya!" bentak papanya yang sudah tiga kali menonjok Evans.
Evans tidak menjawab sama sekali, dia hanya meringis nyeri memegang pipinya yang habis mendapatkan bogem dari papanya.
Setelah keadaan jauh lebih tenang, Nara dan Evans menceritakan semua pada orangtuanya. Papa dan mama Evans semakin marah pada putranya itu, bisa-bisanya Evans melanggar perintah mereka. Tidak hanya diam-diam ke luar malam ke klub, tapi juga minum minuman keras sampai dia nyaris merenggut kehormatan Naraya jika tidak segera dicegah oleh papa dan mamanya.
Nara tidak terbayang sama sekali, seandainya tidak ada papa dan mama Evans, mungkin kehormatannya benar-benar dinodai oleh Evans. Karena di sana hanya ada mereka berdua, satpam jauh di pos depan.
"Kamu seorang lelaki, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu perbuat. Sekarang minta maaf pada Nara."
"Tapi aku 'kan belum sempat sampai ketahap mengambil kesuciannya." Evans dengan wajah tanpa rasa bersalah bisa-bisanya protes.
"EVANS!" bentak papanya murka karena Evans tidak mengerti akan kesalahannya.
"Itu karena ada kami, coba bayangkan kalau kami tidak ada, apa yang akan kamu lakukan pada Naraya. Cepat minta maaf, ah, tidak, minta maaf saja tidak cukup karena kamu sudah melakukan pelecehan. Kamu bisa saja dipenjara tahu." Mamanya ikut menasehati.
"Maaf," ujar Evans pada Naraya.
"Mama akan menarik semua fasilitasmu," titah mamanya.
"Loh, kok gitu sih, Mah." Evans tentu saja protes.
"Masih untung kamu gak mama laporkan polisi." Mamanya menatap Evans dengan tajam.
"Besok kalian harus menikah!" ujar papanya membuat Naraya dan Evans sontak terkejut.
"APA?" pekik Evans dan Naraya secara bersamaan.
"Papa akan mengurus semuanya dengan cepat, yang penting nikah dulu, urusan resepsi dan sebagainya menyusul saja."
"Mama setuju." Ternyata mamanya Evans ikut mendukung rencana suaminya.
"Mah, Pah, jangan bercanda. Aku itu masih sekolah, mana bisa menikah."
"I-iya, Om, Tante. Tidak mungkin Nara menikah dengan Evans. Umur kami saja sangat jauh. Evans muridnya Nara, apa kata orang nanti." Nara menentang.
"Nara, apa yang Evans lakukan itu sudah benar-benar keterlaluan. Lagi pula Evans sudah memiliki KTP, kalau masalah sekolah tenang saja, sebentar lagi Evans lulus. Dan sementara pernikahan kalian dirahasiakan saja, nanti setelah Evans lulus baru kita adakan resepsi yang besar." Papanya Evans memberikan usulnya.
"Tapi kami tidak saling mencintai, belum lagi Evans masih terlalu muda, masa depannya masih panjang. Usia kami terpaut cukup jauh, empat tahun."
Nara tetap mencari alasan untuk menolak usulan aneh dari orangtuanya Evans. Dia bergidik ngeri membayangkan menikah dengan Evans, muridnya yang nakal itu. Menurut Nara itu tidak masuk akal sama sekali, belum lagi beda usia mereka empat tahun. Nara masih ingat dulu saat dia SMP, Evans masih SD, Nara menganggap Evans itu adik kecilnya. Bagaimana bisa tiba-tiba adik kecil sekaligus murid nakalnya itu menjadi suami Nara.
"Empat tahun itu tidak terlalu jauh, Nara. Kamu ingat omnya Evans, yang namanya Om Brandon? Dia sama istrinya beda usia mereka tujuh tahun. Om Brandon tujuh tahun lebih muda dari Tante Sonya. Tapi rumah tangga mereka harmonis sekali bahkan sampai sekarang."
"Om Brandon yang punya anak namanya Ocha?" tanya Nara, karena beberapa kali Ocha dan keluarganya pernah main ke rumah Evans.
"Iya, benar. Dulu mereka beberapa kali main ke sini. Jadi menurut kami, usia bukan masalah. Malah kami jadi tenang kalau Evans menikah sama kamu." Mamanya Evans menatap Nara penuh harap.
"Tapi—"
"Oke, aku bersedia menikah dengan Nara. Biar bagaimanapun aku lelaki yang bertanggung jawab."
Tanpa diduga tiba-tiba saja Evans setuju menikah dengan Nara. Tentu saja hal itu membuat semua orang terkejut, Nara sampai kaget mengapa Evans bisa-bisanya setuju.
"Bagus, itu baru anak papa."
"Evans, kamu jangan bercanda, pernikahan bukan permainan anak kecil. Tidak seperti orang pacaran yang dengan gampangnya bisa putus jika bosan." Nara menentangnya.
"Ya, aku tahu itu, aku juga tidak berniat untuk bermain-main dengan hal sakral seperti itu. Aku sudah berbuat salah padamu, aku akan bertanggung jawab. Kita menikah besok, lagi pula sebentar lagi aku lulus, jadi tidak perlu khawatir tentang masalah sekolah."
Mereka tidak menyangka Evans tiba-tiba saja setuju, bagi mereka hal itu sangat aneh. Padahal alasan sebenarnya Evans mau menikah karena semenjak kejadian tadi, dia menjadi terobsesi ingin memiliki Nara seutuhnya.
"Tapi ...."
"Nara, kamu tenang saja, om akan mengurus semuanya. Meskipun Evans kelihatannya begitu, tapi om harap setelah dia menikah nanti dirinya akan berubah menjadi pria dewasa dan suami yang bertanggung jawab. Selama Evans belum bekerja, semua nafkah dan kebutuhan kalian akan menjadi tanggung jawab kami."
"Nara, tolong jangan menolak. Tante selama ini berharap kamu menjadi bagian dari keluarga kami. Padahal tadinya kami ingin mengadopsimu secara resmi, tapi kamu menolaknya. Tante merasa kalau kamu adalah wanita yang tepat untuk Evans."
Nara ingin sekali menolak, tapi mengingat jasa kedua orangtua Evans selama ini, dia jadi tidak tega. Pada akhirnya Nara mengangguk setuju, dia bersedia menikah dengan Evans hanya demi balas budi.
Detik itu juga papanya Evans langsung menyuruh orang-orangnya untuk mempersiapkan pernikahan besok pagi. Mereka hanya akan menikah diam-diam, hanya beberapa keluarga dekat dan terpercaya saja yang tahu. Tidak ada pesta mewah sama sekali, semua hanya formalitas. Rencananya mereka akan mengadakan resepsi setelah Evans lulus.
Naraya memandang dirinya dicermin, saat ini ia tengah dirias dengan gaun pengantin kebaya putih, rambutnya disanggul dengan diberikan hiasan yang sederhana. Tapi karena wajah Nara yang memang cantik, tentu saja hal itu membuat dirinya semakin tampil cantik.
Nara menyeka air matanya dengan tissue, dia tidak menyangka hal ini akan terjadi. Nara akan menikah dengan Evans, murid nakalnya yang sudah Nara anggap seperti adik sendiri karena Nara menyaksikan sendiri tumbuh kembang Evans dari sejak anak itu masih SD hingga sekarang menjadi bujang SMA yang tampan dan disukai banyak para gadis.
![](https://img.wattpad.com/cover/271593615-288-k323757.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Murid Nakalku
Storie d'amore"Apa yang kau lakukan, Evans. Jangan bertindak tidak sopan, ingat, aku adalah gurumu!" -Naraya- "Di sekolah, kamu memang guruku. Tapi di atas ranjang, kamu adalah istriku. Ingat itu, Naraya!" -Evans- Follow akun Wattpad ini sebelum baca! Follow Inst...