Mengapa Kita Harus Berpisah? (2)

544 26 0
                                    

(Rate 18+)

Selang beberapa menit, aku mendengar suara langkah mendekat. Aku buru-buru memasukkan surat itu ke dalam map dan meletakkannya kembali di sana. Aku bergegas membaringkan tubuhku ke kasur memunggungi pintu kamar.

Tap..
Tap..
Tap..

Jantungku terpacu seiring dengan langkah yang semakin jelas. Aku bisa merasakan keberadaan Yuda yang saat ini tengah melangkah menghampiriku dengan sepotong kue di piring kecil di tangannya.

"Wil, apa kau sudah tidur?" ucap Yuda.

Aku memutar tubuhku dan bangkit dari berbaringku seolah baru saja bangun dari tidur.

"Yuda sudah datang?"

Aku tersenyum meski beribu pikiran dan rasa sakit menghantuiku. Bayangan surat perceraian yang sudah di tanda tangani Yuda.
Yuda duduk di sisi kasur.

"Apa kau lelah? Aku membawakan kue kesukaanmu." Yuda menunjukkan piring kecil berisi kue di tangannya.

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum, "terimakasih."

Aku hendak mengambil alih piring itu namun Yuda menariknya.

"Tanganmu terluka. Buka mulutmu, biar aku suapin."

Yuda memotong kue itu dengan garpu kecil lalu menyodorkan kue itu ke depan mulutku. Aku melirik kue dan Yuda bergantian ragu. Yuda memberi gestur agar aku membuka mulutku.

"Jika Yuda memperlakukanku sebaik ini, aku semakin tidak ingin berpisah dengannya," batinku.

Aku membuka mulutku lalu memakan kue yang di suapkan Yuda. Kedua pipiku merona malu karena di perlakukan seperti anak kecil.

"Bagus," puji Yuda.

Yuda membelai pucuk rambutku gemas dengan tangannya lain yang bebas. Jantungku berdebar cepat mendapati perlakuan manis Yuda. Aku berulang kali dibuat jatuh hati padanya lalu terhantam kenyataan bahwa kemungkinan Yuda akan meninggalkan ku.

Tanpa sadar setetes air mengalir di pipiku. Aku menundukkan wajahku cepat. Yuda terkejut melihat aku yang tiba-tiba menangis. Yuda meletakkan piring di tangannya ke meja kecil sisi kasur.

"Apa yang terjadi? Apa ada yang sakit?" tanya Yuda.

Yuda menangkup wajahku dan memeriksa tubuhku khawatir. Aku menggelengkan kepala menyeka bulir-bulir air di pipi dengan kasar berusaha tetap tenang.

"Tidak, tidak apa-apa," ucapku.

Meski aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja namun tubuhku masih saja bergetar takut. Yuda menarikku kepelukannya, menenggelamkan wajahku di dadanya. Degupan jantungnya masih sama dan aroma yang tidak pernah bisa aku lupakan di tubuhnya.

"Maaf," bisik Yuda.

Yuda mengatakan itu tepat di telingaku dengan lembut. Aku tidak begitu tahu makna dari kata maaf yang Yuda katakan. Namun aku selalu berpikir bahwa Yuda akan menceraikanku, jika waktunya tiba.

Yuda melepaskan pelukannya dan menatapku. Dia menyeka sisa air di sudut mataku. Dia mendekatkan wajahnya, mencium dahi ku penuh kasih sayang. Aku mulai berangsur-angsur tenang karena perlakuannya.

***

Hari terus berlalu. Setiap hari perlakuan Yuda seakan berubah padaku. Dia merawatku dengan hati-hati, menemaniku setiap kali menjalani kemoterapi akibat cedera berat di kakiku. Aku masih belum bisa berjalan normal dan hanya mengenakan kursi roda. Tanganku berangsur-angsur mulai pulih namun masih sedikit sulit memegang yang berat.

Sejak kecelakaan yang menimpaku, Yuda lebih sering di rumah daripada di tempat kerjanya. Bahkan saat kerja pun, dia memilih pulang cepat tidak seperti biasanya. Yang berlebihan lagi saat dia ada tugas keluar kota, Yuda memaksa ku ikut dengannya pergi karena khawatir meninggalkan aku sendirian di rumah dan dengan alasan bahwa kami bisa sekalian liburan di sana.

Short Story' 3 - Proses Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang