1 : Si Bungsu

723 130 35
                                    

"Kak Le!" Terdengar suara nyaring dari anak bungsu tetangga sebelah kiri rumah Narel.

Narel sedang mencuci motornya di halaman rumah. Laki-laki yang punya dua gigi kelinci itu lebih senang mencuci motornya di malam hari karena menurut Narel tekanan airnya lebih besar ketika malam. Meskipun mami sudah sering melarang karena takut Narel masuk angin dan berkata tekanan airnya sama saja, toh mereka punya booster pump, Narel tetap mengabaikannya.

"Ra! Levon lagi di kedai!" seru Narel. "Nggak ada di rumah."

Perempuan bermata bulat yang baru saja turun dari taksi dan baru saja menyerukan nama kakaknya itu langsung menoleh ke arah Narel. Narel sempat mengernyit, terlihat bingung karena Neira turun dari taksi dalam keadaan berurai air mata.

"Kak Na!" Neira memekik. "Gue mau curhat."

Aduh. Neira pakai berlari ke arahnya pula. Lagi pula sejak kapan Neira suka curhat padanya? Apalagi Narel bukan tipe laki-laki yang pandai berkata dan menghibur orang yang sedang bersedih.

"Ra! Stop!" Narel membuka kedua telapak tangannya dan menunjukkan pada Neira. "Gue belum kelar cuci motor."

Narel tidak bohong. Tumpukan busa sabun masih hinggap di motor dan di kedua tangannya. Kalau ia terpaksa mendengar curhatan Neira, ia jadi tidak bisa menyelesaikan proses cuci motornya. Belum lagi bercak-bercak air yang akan membekas jika tidak segera di lap. Ia tidak suka melihat motor matic hitamnya menjadi buluk karena bercak air.

"Mending lo nangis dulu di rumah. Tenangin pikiran lo. Tunggu Levon pulang, baru curhat ke dia," imbuhnya. Kedua tangan Narel terulur ke arah rumah sebelah sebagai isyarat supaya gadis itu pulang.

Neira mendengkus, terlihat sebal. Punggung tangan kanannya mengusap jejak air mata di pipi dengan cepat. "Nyebelin."

Perempuan berpipi tembam itu tidak pergi sesuai perintah Narel. Ia justru berjalan cepat ke arah laki-laki itu dan menendang ember penuh sabun sampai tumpah ke halaman. Narel terkejut dan mundur beberapa langkah untuk menghindar air, sementara Neira terlihat tidak peduli walau sepatunya ikut basah karena air sabun dalam ember mengalir ke arahnya.

"Ra! Lo gila?"

Kerongkongan Narel terasa berat seolah ada bongkahan batu yang menahan emosinya untuk keluar. Ia bisa merasakan gumpalan amarah yang terpaksa tidak ia sampaikan. Gadis itu beruntung, Narel tidak menumpahkan kalimat makiannya karena Neira terlihat sedang ada di posisi yang sangat menyedihkan. Mata bulatnya merah karena menumpahkan air mata, hidungnya berair yang sesekali diusap dengan ujung lengan jaketnya.

Jujur saja, Narel suka waktunya saat mandi di bawah pancuran dan ketika mencuci motor. Ia suka memikirkan banyak hal sambil bermain air. Lalu Neira datang dan dengan mudah merusak suasana hatinya malam itu. Seandainya saja Ricky tidak ada di Inggris, pasti Narel sedang ada di Pahit Manis, bermain musik, dan tidak perlu bertemu gadis gila ini di malam minggu.

"Ya udah. Cerita. Ada masalah apa? Cepet," putus Narel kemudian.

Ia menghela napas, berusaha menahan diri untuk tidak marah. Di sini, Narel yang lebih dewasa. Mungkin ia perlu meladeni sedikit perempuan itu sebelum Neira bertingkah lebih kekakan-kanakan.

"Nggak perlu. Udah nggak mood." Gadis itu beranjak pergi dengan langkah lebar-lebar dan terlihat sengaja dihentakkan begitu kasar.

Narel menggelengkan kepala. "Orang gila."

~~~

Narel membenci hari Minggu yang dipaksa untuk bangun pagi. Mami tidak pernah membuatnya bangun pagi. Namun, satu telepon yang terus-menerus membuat ponselnya berdering, membuat laki-laki itu terpaksa membuka mata.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang