3 : Sakit tetapi Manis

556 119 28
                                    

Narel tertawa geli ketika melihat Barokah masuk kelas. Rambut Barokah terpotong tidak beraturan, pitak di sana-sini. Laki-laki yang duduknya di belakang Narel itu menggerutu tanpa henti.

"Anjing. Sialan banget, dipotong guru BK." Barokah mendengkus kesal. "Pitak dah rambut gue. Apes banget, pas yang jaga Pak Ito."

Narel masih belum bisa berhenti tertawa. Sampai laki-laki itu harus mengambil napas dan mengembuskannya perlahan berkali-kali supaya bisa berhenti menertawakan penampilan Barokah yang baru.

Barokah mengusap kepalanya dengan kasar. "Lagian resek banget deh Pak Ito. Perasaan rambut gue nggak panjang-panjang amat. Masih belum nyentuh kerah baju dan baru melebihi kuping dikit."

"Rambut lo emang panjang, Barokah. Rambut lo itu gondrong."

Jangan percaya dengan ucapan Barokah. Narel sendiri yakin seratus persen kalau rambut sahabatnya itu memang sudah bisa dibilang gondrong. Rambut belakang yang melebihi kerah baju, bagian samping yang menyentuh, oh bukan menyentuh, lebih tepatnya hampir menutupi telinga. Belum lagi rambut depannya yang sudah melebihi alis mata, terbelah tengah dan dibiarkan panjang ke kanan dan kiri. Sudah dapat Narel pastikan kalau rambut Barokah memang panjang. Buktinya benar kan sampai dipotong Pak Ito.

"Nggak, nggak. Gue yakin banget kalau Pak Ito cuma iri sama gue yang keren ini." Barokah menyeringai. "Lihat kan kalau Pak Ito mulai beruban? Gue rasa dia cuma iri dengan rambut gue yang tebal."

Narel berdecak sambil geleng-geleng kepala, memang Barokah sinting.

"Tadi gue baca di grup kalau hari ini Levon nggak masuk?" Barokah menurunkan kedua bahunya, terlihat tidak berdaya. "Yah, nggak bisa makan kue pastel dong? Gue rasa, hari ini adalah hari di mana hidup gue yang paling sial. Udah rambut dipotong seenaknya sama guru BK, sekarang nggak bisa makan kue pastel."

Narel berdecak. Ia sudah bosan dengan kue pastel buatan mama Levon. Hampir tiap hari, keluarganya mendapat kiriman kue pastel. Belum lagi ketika awal-awal Levon berjualan saat SD. Laki-laki berkulit putih itu selalu memaksa Narel untuk membeli. Hampir seperti pemalakan. Sementara Barokah, setiap hari, tanpa terlewat, ia pasti membeli kue pastel Levon. Tidak tanggung-tanggung, Barokah bisa makan empat sampai lima biji kue pastel dalam satu kali makan.

"Lo itu beruntung, Bar. Masih selamat selama berapa minggu ini. Padahal ketua Osis selalu mampir ke sini, buat nyamperin ceweknya. Masih untung dia nggak laporin lo ke BK sejak dulu," ucap Narel.

"Nggak takut gue sama Viko." Barokah terkekeh. "Orang dia cuma bucin ke Mori. Nggak bakal lirik-lirik bangku belakang. Tiap gue ke kelasnya buat beli kue pastelnya Levon, dia juga nggak pernah tuh negur gue."

"Ya, ya. Harusnya gue yang negur rambut panjang lo. Salah gue ini, salah gue."

Barokah terkekeh. "Lagian kenapa Levon nggak masuk? Sakit?"

Narel menggeleng sebagai jawaban. "Bukan Levon yang sakit, tapi Neira."

"Halah. Neira doang yang sakit, kenapa dia yang nggak masuk?"

"Dasar lo makhluk tanpa empati," ejek Narel. "Neira kena radang usus buntu, Bro. Tadi malam dioperasi."

Tadi malam memang Neira harus dioperasi. Karena operasi darurat, pihak rumah sakit sampai meminta persetujuan melalui telepon pada orang tua Neira. Beruntung Narel langsung membawa perempuan itu ke rumah sakit karena dokter berkata jika terlambat dan pecah di dalam perut, bisa berakibat fatal.

Narel tidak menunggu Neira sampai selesai dioperasi. Ia pergi dari rumah sakit setelah orang tua gadis itu datang. Narel merasa Neira bukan tanggung jawabnya, toh sudah ada keluarga yang menunggu. Tanggung jawabnya selesai ketika orang tua gadis itu datang ke rumah sakit. Lagi pula, ia tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman pada Levon. Sangat terlihat aneh jika Narel menunggu operasi Neira selesai, sementara sudah ada orang tua mereka yang menunggu. Narel merasa bukan siapa-siapa, hanya sekadar tetangga dan kebetulan berteman sejak kecil dengan Neira.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang