9 : Kota Hujan

393 91 22
                                    

Jemari mungil itu bergerak bergantian membentuk seperti langkah kaki yang lucu. Terkadang telunjuk di depan, terkadang jari tengah yang memimpin. Dua jari yang bergerak bersautan di atas lengan Narel. Gadis pemilik jari itu terlihat bosan menunggu dan berusaha meraih perhatian Narel.

Sudah hampir dua jam Narel bersama dengan Neira di salah satu cafe di Bogor. Keduanya makan siang di kota hujan itu. Sengaja Narel memilih tempat sejauh mungkin dari rumah dan Pahit Manis. Berharap tidak bertemu dengan seseorang yang mereka kenal di sana.

"Bosan ya, Ra?" Narel menoleh ke arah kanan dan melihat Neira yang kemudian menyandarkan dagunya ke lipatan siku Narel.

Gadis itu mengangguk. "Masih lama ngerjain tugasnya?"

"Lumayan." Pandangan Narel kembali tertuju pada layar laptop. Sepuluh jarinya bergerak menekan huruf-huruf pada papan ketik. Ia harus mengumpulkan tugas sejarah hari Senin, lusa.

Neira sudah masuk waktu libur sekolah. Perempuan itu sudah menuntaskan ujian sekolah. Masa SMP-nya akan berakhir saat wisuda dan pendaftaran masuk SMA tiga minggu lagi. Sementara Narel masih sibuk dengan tugas, sebelum akhirnya harus melewati pekan ujian akhir semester satu minggu lagi.

Hari Sabtu siang itu, mereka bertingkah seperti orang yang berkencan sungguhan. Neira seperti kekasih yang menemani Narel belajar. Apalagi keduanya terlihat serasi, dengan memakai pakaian yang tidak sengaja terlihat seperti pasangan. Narel dengan kaus lengan pendek warna biru langit dan celana denim. Sementara Neira memakai loose pants warna navy dan kaos longgar polos berlengan pendek warna baby blue yang bagian bawahnya dimasukkan ke dalam celana sehingga menunjukkan ikat pinggang kecil warna putih.

"Kak Na. Gue boleh tanya sesuatu nggak?"

"Ya?" Perhatian Narel tidak teralihkan. Fokusnya masih berada pada laptop. Dengan jemari yang terus membuat bunyi pada papan ketik.

"Lo naksir gue sebesar apa?"

"Hm." Narel sedikit memiringkan kepala. Sebesar apa? Pertanyaan yang sulit. Narel sangat menyukai perempuan ini, tetapi sebesar apa? Apa sampai ia rela mati demi Neira? Seperti Romeo yang turut mati karena Juliet, atau Jack yang merelakan Rose naik ke atas papan kayu sementara dirinya sendiri perlahan membeku di samudera Atlantik?

"Kok nggak jawab?"

Narel tersenyum kecil. Gadis itu tidak sabar. "Sebesar apa ya? Sebesar kalau gue nggak lihat lo seharian, cukup bikin gue senewen. Cukup hilang akal sampai gue mungkin bakal rela manjat ke lantai dua, supaya bisa masuk kamar lo. Jadi, lo asumsiin sendiri deh itu sebesar apa?"

"Jadi kalau emang sebesar itu, kenapa kita kayak gini terus?"

Jemari Narel berhenti bergerak dari papan ketik. Ia menatap perempuan yang bersandar pada lipatan lengan kanannya dan membuat tatapan lucu dengan mata bulat itu. Fokusnya sudah terpusat pada perempuan berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi.

"Maksudnya gimana, Ra?"

Neira menegakkan tubuhnya dan mendorong sedikit cangkir kopinya supaya agak ke tengah meja. Perempuan itu terlihat menginginkan pembicaraan serius.

"Kita ini apa?" tanyanya.

Pertanyaan yang sudah Narel duga akan muncul dari Neira cepat atau lambat. Pertanyaan yang menuntut kepastian dan penjelasan.

"Um. Teman dekat..." Narel tidak yakin apakah itu jawaban yang ingin Neira dengar.

"Teman dekat itu berarti rasa sukanya lebih dari sekadar tetangga?"

Narel mengangguk.

"Lebih dari sekadar adik kakak?"

Sekali lagi, Narel mengangguk. "Ra. Gue suka lo sebagai diri lo sendiri. Gue suka Neira yang bawel, Neira yang suka berdiri di mesin kasir Pahit Manis, Neira yang suka ceplas ceplos, Neira yang suka es cincau hijau depan tempat les. Bukan Neira sebagai anak tetangga, bukan Neira sebagai adik Levon. Perasaan gue lebih dari itu."

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang