5 : Garis Batas

465 105 28
                                    

Narel menatap Neira yang masih mengunyah makanan. Pipinya yang sedikit tembam itu terlihat bergerak-gerak lucu. Rambutnya yang tebal dikuncir asal, sehingga anak-anak rambut yang tidak ikut terikat memenuhi sisi kanan dan kiri keningnya.

"Kak Na, lo nggak makan?" Neira mengernyit heran. "Tiba-tiba nggak selera bubur ayam, apa gimana? Kalau nggak mau, buat gue aja."

"Enak aja! Eh, Levon ke mana tadi?" tanya Narel mengalihkan topik. Sejujurnya, ia juga tidak terlalu mendengarkan ketika Neira bercerita tentang Levon. Ia terlalu sibuk menatap mata bulat Neira yang mulai terlihat cerah dan pipinya yang sudah mulai terlihat lebih berisi dibanding saat sakit kemarin.

"Basket. Sama temen ekskulnya."

Narel menganggukkan kepala. Ada perasaan sedikit senang karena Levon tidak ikut bergabung dengan mereka.

"Kak, gue mau tanya serius." Neira meletakkan sendok bubur ayamnya, kemudian menyesap es teh manis sedikit.

"Tanya apa? Wajah serius nggak cocok sama lo," ledek Narel. Kemudian ia memasukkan satu sendok penuh bubur ke dalam mulutnya.

Neira mencibir. "Lo naksir gue ya?"

Narel berhenti mengunyah, lalu menatap bola mata beriris hitam milik gadis yang duduk di depannya.

"Nggak lah! Gila?"

Tanpa Narel sadari, kalimat yang keluar dari mulutnya muncul dengan nada tinggi. Ia hanya berani menunduk, menatap bubur ayamnya yang sudah acak-acakan. Narel tidak berani menangkap reaksi Neira saat ini.

"Ya udah kalau nggak. Nggak perlu ngegas gitu dong, Kak."

Perlahan Narel mengangkat dagunya dan melihat Neira melanjutkan makannya. "Emang ada yang bilang kalau gue naksir lo?"

Gadis itu menggeleng. "Nggak sih. Cuma gue ngerasa lo beda aja beberapa hari ini. Kayak lebih, um, perhatian?"

"Kapan gue perhatian? Lo ngigau ya?"

Neira terkekeh. "Ra, makan apa di rumah? Buat apa nanya kayak gitu?"

"Itu karena, um, karena, karena gue mau cocokin lauk sama di rumah gue." Bodo amat dibilang sinting. "Kalau lauk lo lebih enak, gue mau numpang makan di rumah lo."

"Terus, terus, ada lagi." Bola mata Neira bergerak ke kanan kiri, seperti mencoba mengingat sesuatu. "Oh. Ra, lagi ngapain? Itu kayak pertanyaan orang-orang yang lagi pdkt, tahu nggak, Kak?"

"Nggak. Gue nggak tahu."

"Idih. Nggak pernah punya cewek ya?"

Narel mencibir. Terserah kata Neira saja lah.

"Jadi, kenapa nanya kepo gue lagi ngapain?"

"Karena gue-" Laki-laki bergigi kelinci itu memutar bola mata, mencari alasan. Apa pun. "-ah, nggak tau lah. Lagian suka-suka gue dong mau nanya apa."

"Lo lagi gabut ya, Kak Na? Makanya gangguin gue?"

"Nah." Narel menjentikkan jari. "Itu tahu. Gue kepo karena lagi gabut dan cuma lo yang asyik buat gue gangguin."

"Terus ngasih cokelat sama bunga biar apa? Kayak pasangan lagi rayain Valentine tahu nggak?" Neira mulai sewot, mungkin kesal dengan alasan-alasan Narel. "Mana bentar lagi emang mau Valentine, wajar kan kalau gue kegeeran?"

Narel mengembuskan napas perlahan. Ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh ketahuan kalau mulai tertarik dengan Neira. Jangan sampai ia berlebihan dan merusak semuanya. Kalau ia ketahuan, ia bisa merusak hubungannya dengan Neira dan juga Levon. Narel tidak ingin hal itu terjadi.

"Alasannya karena gue kasihan sama lo, jomlo kelamaan terus dapat pacar zonk. Udah, buruan makan. Lo lelet, gue tinggal," kata Narel.

Ia harus memberi garis batas yang tegas. Ia tidak boleh lagi menghubungi Neira, jika bukan pesan penting. Neira tidak boleh curiga.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang