6 : Cokelat Manis

500 105 27
                                    

"Iya, lo ketahuan banget, Rel. Lo sih, lihatin Neira sampai bola mata lo kayak mau keluar. Mana minggu lalu pas ke rumah sakit pakai bawain bunga. Anjing lah! Siapa juga yang nggak curiga?" ujar Barokah seraya menggaruk ujung alis kanannya. "Nih, kalau aja gue nggak joget tiktok, itu Levon bakal liat kalau lo merhatiin Neira dari tadi. Karena gue joget tiktok, fokus Levon jadi ke gue. Tolong lah, itu mata lo diatur dikit."

Narel akui kalau ia salah paham pada Barokah. Ia kira memang Barokah tidak bisa diam sejak tadi. Dan harus ia akui pula, kalau ia harus berterima kasih pada sahabatnya itu.

"Lagian, sejak kapan? Kok bisa? Lo inget kan kita ada perjanjian sama anak-anak?"

Barokah terus menghujani Narel dengan pertanyaan yang Narel tidak bisa jawab. Karena ia tahu, dengan bodohnya ia tertarik pada Neira tepat setelah ia membuat perjanjian konyol itu.

"Gue sih dukung aja kalau lo mau suka sama siapa pun, sekali pun ternyata orang yang lo suka itu Neira. Gue tetap dukung lo. Tapi saran gue, lo lurusin dulu sama Levon. Minta izin sama dia. Be a gentleman, Bro."

"Nggak lah, Bar. Mungkin gue cuma tertarik sesaat sama Neira. Sebelum perasaan gue semakin jauh, mungkin lebih baik gue mundur. Gue nggak tahu apa alasan Levon nggak mau salah satu dari kita jatuh cinta sama adeknya. Tapi yang gue tahu, apa pun yang dibilang Levon, pasti untuk kebaikan kita."

Barokah mencibir. "Ya udah, terserah lo dah."

Sejujurnya Narel tidak yakin dengan keputusannya. Mungkin ini yang dinamakan lain di kata, lain di hati. Munafik memang.

Otaknya berpikir, semua yang baru saja ia ucapkan itu benar. Narel juga berutang banyak pada Levon. Narel selalu beranggapan Levon tahu apa yang terbaik. Sejak kecil, Levon selalu lebih dewasa daripada Narel. Ketika Narel kecil tidak bisa bersepeda karena sepeda roda dua miliknya rusak, Levon tidak segan untuk meminjami sepeda. Padahal Narel tahu, Levon kecil juga suka bermain sepeda. Sementara Narel bersepeda menggunakan sepeda milik Levon, Levon kecil lebih memilih mengajari Neira naik sepeda roda dua.

Sama juga ketika mereka satu kelas di Sekolah Dasar, Narel kecil tidak pandai berolahraga menggunakan bola. Ketika guru olahraga menyuruh mereka membagi tim untuk pertandingan basket, tidak ada anak yang ingin satu tim dengan Narel. Namun, Levon memilih Narel, meskipun ia tahu timnya akan kalah. Levon tidak berhenti di sana. Setiap sore, ia menyempatkan waktunya untuk mengajari Narel basket. Padahal Levon memiliki jadwal yang sibuk dengan les piano, les Bahasa Inggris, dan les Bahasa Mandarin. Kata Levon, Narel harus bisa supaya tidak lagi diremehkan oleh anak lain.

Narel tidak ingin persahabatannya rusak karena Neira. Apa pun yang ia rasakan saat ini, Narel rasa itu hanya bersifat sementara. Ia yakin, ia lebih menginginkan terus bersahabat dengan Levon daripada ingin menjadi pacar Neira. Ya, ia yakin begitu.

~~~

Narel mengeluarkan motornya dari garasi. Ia melihat Neira sudah berseragam putih biru lengkap di teras rumah. Mungkin, perempuan itu sedang menunggu papanya keluar rumah untuk mengantarnya sekolah. Laki-laki bergigi kelinci itu turut senang karena Neira bisa beraktivitas kembali setelah satu minggu terkurung di dalam rumah.

"Pagi, Kak Na! Mau berangkat sekarang? Nggak kepagian?"

Bohong kalau Narel tidak mendengar sapaan Neira. Memang ini masih sangat pagi, bahkan Neira dan Levon yang diantar pakai mobil saja, belum berangkat. Padahal risiko terjebak macet. Namun, hari ini adalah hari Senin. Narel bergabung dengan ekstrakurikuler Paskibraka, sehingga ia harus datang lebih pagi untuk mempersiapkan upacara bendera.

Narel melirik sekilas ke arah Neira, tetapi tidak menjawab sapaan gadis itu. Ia sudah siap melajukan motornya begitu saja, tanpa ingin menjawabnya. Ia sudah bertekad untuk mempertebal garis batasnya, ia tidak boleh melanjutkan perasaannya yang masih baru tumbuh ini.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang