Setelah merapikan motor di sebelah mobil papi, Narel langsung bergegas ke rumah sebelah. Ia tidak ingin menunda banyak waktu lagi. Laki-laki itu hanya ingin segera bertemu dengan Neira dan memberi tahu izin yang telah ia kantungi dari Levon. Narel tidak begitu peduli ketika melihat mobil sedan Levon belum sampai rumah. Ia juga tidak begitu peduli ketika waktu sudah menunjukkan lewat dari pukul sembilan malam.
Laki-laki itu mengembuskan napas panjang karena gugup, sebelum akhirnya mengetuk daun pintu rumah itu sebanyak tiga kali. "Permisi."
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya pintu itu terbuka. Mama Levon berdiri di sana dengan kerutan di dahi. "Narel, kenapa? Malam-malam gini. Levon lagi pergi. Bukannya tadi Levon bilang mau pergi sama anak-anak band?"
Narel menggeleng satu kali. "Malam, Tante. Narel bukan cari Levon, tapi cari Neira. Ada?"
"Ada. Biar Tante panggil dulu ya." Mama Levon berlalu pergi sambil terlihat sedikit memiringkan kepala, mungkin heran karena Narel datang untuk mencari Neira di malam hari seperti ini.
Jantung Narel berdetak lebih cepat. Ia merindukan kekasihnya itu. Baru tidak bertemu dan tidak saling memberi kabar beberapa hari saja seperti sudah satu tahun tidak bertemu. Ia juga tidak sabar untuk membagi rasa bahagianya pada Neira. Sekarang Narel sudah mendapat kampus yang ia mau dan di jurusan yang ia inginkan pula. Izin dari Levon juga sudah ia dapatkan. Rasanya tidak ada hal lain yang ia inginkan lagi saat ini.
"Kak Na?" Neira keluar dari dalam rumah. Gadis itu sudah mengenakan piyama merah muda dengan motif gambar paus-paus kecil lucu yang sedang menyembur air berwarna biru.
"Udah mau tidur ya, Ra?" Narel tersenyum. "Maaf gangguin lo."
"Udah selesai urusannya sama Kak Levon?" Bukannya menjawab pertanyaan Narel, justru kedua mata bulat Neira bergerak tidak tentu arah. Celingukan, mungkin mencari sosok kakak kandungnya itu. "Kak Le mana?"
"Belum sampai," jawab Narel. "Gue lebih cepat karena naik motor. Gue ke sini bukan mau bicara tentang Levon. Gue mau bicara tentang kita."
Kedua mata bulat Neira kembali fokus pada Narel. Dua pasang mata itu saling mengunci. Demi Tuhan! Kalau saja ini bukan tepat di teras rumah Neira, Narel sudah ingin melebarkan kedua tangannya dan membawa perempuan bermata bulat itu masuk ke dalam pelukannya. Sayangnya Narel masih punya rasa sungkan dan takut kalau tiba-tiba orang tua Neira mengintip dari dalam.
"Ra, gue mau bilang kalau Levon udah setuju sama hubungan kita. Jadi kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi sekarang."
Senyuman lebar muncul dari wajah gadis itu. "Serius, Kak? Lo nggak lagi nge-prank gue kan? Nggak bohong kan?"
"Nggak lah, Ra. Gue serius. Kita bisa bebas jalan berdua tanpa harus sembunyi lagi."
"Kak!" Neira melompat dua kali sambil bertepuk tangan. Lucu. Seperti anak TK yang baru saja mendapat cokelat. "Gue seneng banget."
Narel menepuk pelan puncak kepala gadisnya dua kali. "Simpan dulu rasa senangnya. Sekarang tidur. Sorry karena ganggu malam-malam."
"Kayaknya gue nggak bakalan bisa tidur deh setelah ini."
"Tidur lah, Ra. Lo harus istirahat yang cukup. Nanti kita teleponan bentar deh kalau masih kangen." Narel tersenyum. Padahal dirinya yang masih sangat merindukan gadis itu. "Eh, tapi buka dulu block-nya. Jangan block nomor gue lagi."
Gadis itu mengangguk patuh.
Sebuah cubitan kecil mendarat di hidung Neira. Tidak berhenti di sana, tangan kanan Narel kembali bergerak untuk mengusap pipi kiri kekasihnya. Narel tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh wajah perempuan itu. Ia merindukannya. Sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET ME CHANGE MY RULES
ChickLitBro Rules : 1. Tidak boleh berkelahi karena masalah perempuan. 2. Jika ada perselisihan, harus segera diselesaikan hari itu juga. 3. Harus jujur dengan perasaan sendiri. 4. Dilarang jatuh cinta dengan saudara kandung anggota. Narel terjebak dalam pe...