"Duluan. Gue les," ucap Narel. Laki-laki itu menatap ke arah belakang, tertuju kepada dua sahabatnya yang duduk berseberangan.
Barokah mengangguk. Sementara Joel memicingkan mata, seakan menatap penuh curiga.
"Iya, iya. Gue tahu," jawab Barokah. "Sana berangkat."
Mungkin teman-teman Narel akan bertanya-tanya, apa yang membuat Narel selalu bersemangat untuk pergi les? Tentu saja, jawabannya Neira. Di kelas dua belas ini, Narel mendaftar di tempat les Neira dulu. Meskipun sejujurnya jam mulai lesnya masih ada jeda satu jam tiga puluh menit dari jam pulang sekolah, tetapi Narel selalu terburu-buru ke sana untuk menikmati es cincau hijau bersama Neira.
Tempat les Narel itu sudah menjadi tempat persembunyian keduanya. Meskipun Neira sudah tidak lagi les di sana, tetapi perempuan itu juga menyempatkan diri untuk ke gedung merah kuning itu sepulang sekolah. Di hari Narel les, mereka selalu berusaha untuk bertemu. Tempat itu mereka anggap aman karena Levon memilih tempat les lain yang lebih dekat dari komplek rumah mereka.
Narel meletakkan motor matic-nya di deretan motor yang terparkir. Ia sudah melihat Neira duduk di kursi plastik dekat gerobak pedagang cincau hijau dan di tangannya sudah ada segelas es cincau yang sudah hampir habis.
"Satu, Pak. Kayak biasa," ucap Narel.
"Oke. Siap." Tangan pedagang itu mulai bergerak membuat pesanan Narel.
Tanpa banyak bicara, Narel menarik kursi plastik dan duduk berdekatan dengan Neira.
"Panas banget tahu, Kak. Gue duluan pesen deh jadinya."
Narel mengangguk. "Iya, nggak papa."
"Nanti malam jadi kan, Kak? Gue udah pamit mau kerja kelompok di rumah temen gue. Dia juga udah gue kasih tahu kalau mama telepon suruh bilang gue lagi di kamar mandi aja," ucap perempuan itu. "Lo udah pesan kamar kan?"
"Aduh anak muda zaman sekarang, mainnya yang di kamar begitu. Bahaya deh, ah. Pikirannya udah dewasa semua," sahut bapak penjual cincau seraya menyerahkan segelas es cincau untuk Narel.
Selalu saja ikut campur dan menguping. Narel sebal. Untung saja es cincau buatannya memang enak. Sehingga Narel rela bertahan mendengar setiap celetukan pria itu.
"Kamar karaoke, Pak. Bukan kamar hotel," jawab Neira cuek. "Bapak kali yang pikirannya ngeres."
Neira menyerahkan gelasnya yang sudah kosong ke pria itu. Lalu bapak itu tertawa dan kembali ke gerobaknya. Narel dan Neira memang sengaja memilih tempat karaoke untuk kencan mereka malam nanti. Selain karena bilik tertutup dan tidak mungkin ketahuan Levon, tempat itu juga buka sampai malam atau bahkan pagi. Bukan berarti Narel akan menginap di sana, tetapi tempat karaoke tidak seperti mall, yang mungkin membuat mereka agak terburu-buru karena takut segera tutup. Kebetulan juga, pekan lalu, Narel melihat promo kalau ada diskon khusus untuk yang berulang tahun. Kalau alasan terakhir, Narel merahasiakan dari Neira. Malu kalau ketahuan pakai diskon ulang tahun.
"Btw, Kak. Happy birthday ya." Neira membuka resleting tas ransel yang ia pangku dan mengeluarkan satu buah buku dari sana.
Buku bersampul merah dengan hiasan bunga-bunga yang mengeliling judul buku. Love Behind the Wall.
"Baca ini deh, Kak." Perempuan bermata bulat itu tersenyum. "Tentang backstreet. Kayak kita. Latarnya tentang bangsawan Eropa tahun 1800-an. Ceweknya anak bangsawan punya hubungan gelap sama salah satu pengawalnya. Mereka sembunyi karena ayahnya si cewek maunya cuma nikahin anaknya dengan sesama bangsawan."
Narel menganggukkan kepala. "Oke. Nanti gue baca."
Setelah Neira pulang dengan ojek online, Narel langsung masuk ke dalam ruang kelasnya. Ruang kelas masih sepi, Narel memilih duduk di barisan kedua. Kalau di sekolah ia biasa duduk di barisan hampir belakang, setidaknya ia merasa harus duduk di depan saat les.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET ME CHANGE MY RULES
Literatura FemininaBro Rules : 1. Tidak boleh berkelahi karena masalah perempuan. 2. Jika ada perselisihan, harus segera diselesaikan hari itu juga. 3. Harus jujur dengan perasaan sendiri. 4. Dilarang jatuh cinta dengan saudara kandung anggota. Narel terjebak dalam pe...