12 : Kasir Sehari

357 79 16
                                    

Narel berjalan dengan langkah gontai. Ia masih malas bergerak di hari Sabtu pagi dan harus membantu Levon dengan urusan kedai. Lagi pula ada-ada saja, kenapa juga karyawan kedai diberi izin cuti bersamaan.

"Rel! Buruan!" Levon modar-mandir dari tadi, mengambil panci besar berisi adonan pancake dari dalam rumah, kemudian memasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Gue udah cepet. Emang pancinya aja yang berat." Narel beralasan, padahal memang masih malas. Di tangan Narel juga ada panci berisi adonan. Setelah meletakkan panci ke dalam bagasi, Narel masuk lagi ke rumah Levon dan mengambil seloyang pastry.

"Baru bawa seloyang pastry sama sepanci adonan aja udah ngeluh," ejek Neira. "Lo cowok bukan sih, Kak?"

Narel menyeringai. "Cowok. Kenapa? Butuh bukti?"

"Bukti apaan maksud lo? Kalau lo berani macam-macam sama Neira, gue gebukin," ancam Levon.

Jantung Narel hampir lompat. Tengkuknya juga mendadak tegang. Ia ingat bagaimana ia pernah mencoba mendekati Neira beberapa bulan yang lalu. Padahal bukan bukti aneh-aneh yang Narel maksud. Maksud laki-laki bergigi kelinci itu, silakan Neira tanya ke mami, Narel lahir sebagai laki-laki atau perempuan.

Neira tertawa. "Penakut!"

Meskipun berkali-kali Neira menghina Narel, jujur saja, ia masih menyukai Neira. Narel sering mencari kesempatan untuk bertemu Neira. Rutinitas gadis itu mudah ditebak. Setidaknya Narel punya dua kali kesempatan untuk melihat gadis itu dalam sehari.

Pertama saat pagi, ketika Neira akan pergi ke sekolah. Narel rela menyalakan motornya lebih lama di garasi dan menunggu Neira pergi ke sekolah atau menunggu perempuan itu mengantar kue pastel ke rumahnya, jika ada lebihan kue.

Kedua, saat sore. Narel sering kali berpura-pura baik dengan menyiram tanaman mami di halaman atau ia juga terkadang berpura-pura mengelap motor. Padahal motornya masih bersih dan Narel hanya mengelap di satu titik yang sama. Narel sudah hafal kegiatan Neira saat sore. Neira akan keluar rumah untuk mengajak Milo jalan-jalan keliling komplek.

"Langsung kedai ya, Rel."

Narel mendelik lalu menggelengkan kepala. "Gue belum mandi, Von. Nanti lah, gue nyusul."

"Awas aja, Kak Le. Jangan percaya sama omongan Kak Na. Dia suka PHP."

Narel beredehem mendengar celotehan Neira. Sepertinya kalimat sindiran itu sungguh keluar dari hati yang terdalam ya?

"Beneran nanti gue nyusul. Jangan bawel deh, Ra," ucap Narel seraya memasukkan dua telapak tangannya ke saku celana pendek. "Udah ada Barokah, Joel, sama Mori juga kan buat bantuin? Kasir mah belakangan aja. Gue juga udah pernah bantuin di kasir, jadi nggak perlu briefing lagi."

Joel memang sudah sering bergabung bersama geng mereka. Anak-anak Pangeran Cinta juga setuju memasukkan anak baru itu ke grup. Sekarang, Joel sudah menjadi bagian dari mereka. Laki-laki jangkung itu juga setuju untuk membantu Levon di kedai, dan ia juga membawa Mori sebagai bantuan tambahan.

Levon mengangguk singkat. "Jangan lama-lama lo. Mandi cukup lima menit."

"Kayaknya sih nanti bakal molor, Kak Le," sahut Neira. "Pokoknya jangan percaya sama semua omongan Kak Na. Dia tukang ngibul."

"Ssst. Ssst. Diem." Narel meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir. "Suara lo kayak nyamuk yang cuma berdengung di telinga gue."

"Kurang ajar!" Neira sudah mengepalkan tangannya dan siap memukul Narel.

"Udah deh. Ributnya dilanjut nanti. Buruan, Ra! Bentar lagi kedai buka nih! Gue belum briefing Joel," omel Levon. Laki-laki itu segera menutup pintu bagasi dan naik ke dalam mobil sedannya.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang