21 : Menebak

241 45 10
                                    

"Lo tahu?"

Dari sekian banyak pertanyaan yang ada di benak Narel, justru ia memilih pertanyaan itu untuk terlontar dari mulutnya. Laki-laki bergigi kelinci itu masih menatap punggung yang sama. Sepertinya Levon tidak berniat sama sekali untuk menoleh ke arah Narel.

Ketika tidak kunjung mendengar jawaban dari Levon, kedua mata beriris gelap itu kembali menatap langit. Sesekali Narel mengembuskan napas perlahan, seolah bebannya sudah sedikit terangkat dari pundak. Padahal masih ada restu yang menggantung dari Levon. Izin yang ia inginkan supaya tidak perlu lagi menyembunyikan hubungannya dengan Neira.

"Jadi itu bener?"

Kalimat tanya dari Levon membuat Narel kembali menatap punggung sahabatnya itu.

"Dari sekian banyak cowok di muka bumi, kenapa harus lo sih, Rel?" Levon mendengkus. "Dari sekian banyak cowok di kelompok kita, kenapa harus lo? Padahal lo yang paling tahu alasan kenapa gue nggak setuju sama hubungan salah satu dari kalian dan Neira."

"Sorry. Tapi gue beneran sayang sama dia, Von. Dan gue nggak bisa menghapus perasaan gue begitu aja. Gue udah pernah coba untuk mundur dan menghindar, tapi apa yang gue rasakan itu makin nyata. Gue sayang sama Neira."

"Gue kira, lo udah anggap dia kayak adik lo sendiri. Lo sendiri yang bilang waktu itu."

Mendengar itu, Narel hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia ingat kebohongan kecil yang ia katakan waktu hari hujan di kedai malam itu, di hari pertama ia berpacaran dengan Neira. Obrolan singkat bersama Levon disertai teh hangat dan juga obrolan tentang alasan Levon tidak setuju jika Neira berhubungan dengan salah satu temannya. Saat itu, terpaksa Narel katakan semua kebohongan itu karena tidak berani mengakui hubungannya dengan Neira kepada Levon.

Narel bangkit dari posisi tidurnya dan ikut duduk bersama Levon. Bola matanya bergerak untuk melirik ekspresi sahabat sejak kecilnya itu. Ia tidak yakin apa yang harus ia katakan untuk membuat Levon lega dan memberinya kepercayaan untuk menjaga Neira, sebagai kekasih tentunya. 

Levon terlihat mengepalkan kedua tangannya di atas lutut. Tanpa perlu bertanya, Narel tahu kalau sahabatnya itu terlihat kesal, um, sangat kesal. Narel beruntung hingga detik ini Levon masih berusaha menahan amarah dan tidak memukul wajah tampannya itu. Kalau ini Dilon, ia yakin kepalan tangan itu sudah meluncur ke wajahnya dan membuat rahangnya bengkak.

"Gue mulai curiga sejak kita berangkat ke Jogja waktu itu." Levon kembali mendengkus sebal. "Terus tiap Neira izin pergi sama temennya, gue lihat motor lo juga nggak ada di garasi rumah lo. Selama ini gue berusaha menyangkal karena nggak mungkin lo mengkhianati perjanjian kita, tapi ternyata bener ya kalau lo sebajingan itu."

Oh, jadi sejak itu.

"Sorry, Von. Lo boleh kok anggap gue bajingan. Itu hak lo. Tapi gue harap lo nggak pernah salahin perasaan gue ke Neira, dan-" Narel mengembuskan napas panjang. "-perasaan Neira ke gue. Kita berdua sama-sama kesulitan karena harus sembunyiin ini dari lo."

"Berengsek! Omong kosong! Seneng kan lo berdua berhasil nipu gue!" Nada bicara Levon meninggi. Laki-laki itu beranjak dari posisinya seraya meraih bola basket yang tergeletak di lapangan. Kini, ia berdiri dan kedua matanya menatap Narel dengan tatapan tidak suka. "Gue balik duluan." 

"Von. Gue sama Neira sama sekali nggak seneng karena sembunyiin ini semua di belakang lo. Gue cuma butuh waktu yang tepat buat kasih tahu lo tentang ini semua. Dan ini saat yang tepat. Setelah kita berdua udah nggak kepikiran cari kampus. Gue butuh izin dari lo. Tolong kasih izin ke gue. Kasih gue kesempatan buat ganti rule nomor empat kelompok kita."

Levon benar-benar mengabaikan Narel. Laki-laki berkulit putih itu mulai bergerak pergi meninggalkan lapangan basket. Namun, sebelum benar-benar pergi dari sana, Narel juga turut bangkit dan berdiri. Ia tidak ingin membuat pagi ini sia-sia. Ia harus menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu.

LET ME CHANGE MY RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang