"Mel?"
"Buka aja nggak dikunci!" teriak Amelia dari dalam. "Aku sudah nyewa motor, jam berapa kita pergi ke rumah Ririn indigo?" tanyanya setelah Anjani masuk ke dalam rumah.
"Kita langsung pergi aja sekarang. Aku mau ganti baju sama cuci muka dulu."
"Oke oke."
Anjani segera meraih kaos oblong dari dalam lemari. Perempuan itu menuju kamar mandi untuk mengganti seragam kerjanya. Seragam jelek kalau kata Amelia.
Seragam itu berbentuk kemeja lengan pendek berwarna zamrud, dengan bahan yang tidak terlalu bagus. Anjani heran, katanya Angga sangat menjunjung tinggi keamanan karyawannya, masalah sepatu saja harus memakai sepatu khusus di dapur tidak boleh sepatu biasa, tapi mengapa bajunya tidak memakai chef jacket?
Chef jacket adalah baju yang dirancang khusus untuk di dapur. Bisa melindungi koki dari cipratan minyak panas ataupun alat masak yang panas. Tidak seperti seragam koki Hijau Zamrud, baju biasa yang sama sekali tidak safety.
Selesai berganti pakaian, Anjani dan Amelia segera menuju rumah Ririn. Tapi sebelum ke rumah Ririn, mereka mampir dulu di minimarket untuk membeli buah tangan.
"Kita beli roti sama susu aja kali, ya. Ririn nggak suka buah kan?" ujar Amelia seraya memasukkan roti tawar ke dalam keranjang.
"Kata siapa Ririn nggak suka buah?"
"Kata aku." Amelia terkikik geli.
Anjani memutar bola matanya jengah. Amelia memang ada-ada saja.
Setelah membeli buah tangan, keduanya segera tancap gas menuju rumah Ririn. Anjani yang duduk di boncengan belakang, menikmati pemandangan kanan kiri yang mereka lewati.
Motor yang dikendarai Amelia terus melaju di sepanjang jalan dengan pemandangan bangunan dan juga lembah. Setelah berkendara beberapa lama, mereka mulai memasuki jalanan yang kanan kirinya hanya ditumbuhi tanaman, tidak ada bangunan sama sekali.
Amelia menghentikan motornya sejenak, ia mengambil gawainya dan segera menghubungi Ririn. Gadis itu menyelipkan gawainya pada helm, dan lantas melajukan kembali motornya.
"Rin, aku sudah masuk jalan sepi ini. Berapa lama lagi sampai desa kamu?" Amelia berujar agak berteriak karena suaranya hilang diterpa angin, membuat Ririn di seberang sana kesulitan mendengar suaranya.
"Nanti kalau sudah masuk ke jalan yang mulai ramai rumah penduduk, kurangi kecepatan. Lihat sebelah kiri. Rumah aku ada puranya di bagian depan," ujar Ririn dari seberang sana.
"Ih, semua rumah ada puranya, Samson! Yang lebih spesifik dong!"
"Ada tanaman cabai di pot. Banyak. Potnya dari ember bekas, baskom bekas."
"Ada pagarnya nggak?"
"Ada, pagarnya kemangi."
"Serius, Bambang, eh Ani!"
"Iya, rumahku ada pagar tanaman hidup dari kemangi. Serius ini. Pokoknya nanti liat aja sebelah kiri. Rumah aku pinggir jalan."
"Ya udah, oke. Jan, tolong liat sebelah kiri, ya. Liat yang ada tanaman cabai sama kemangi." Amelia berujar sambil menoleh sedikit ke belakang.
"Oke."
Setelah berkendara ... entah berapa lama karena Anjani lupa mengecek jam, mereka sampai di tujuan, di desa entah apa namanya, Anjani lupa.
"Buset! Banyak bener kemangi Ririn!" Amelia berdecak sambil geleng-geleng takjub.
Ya, di samping pura dan di halaman rumah Ririn terdapat banyak rumpun tanaman kemangi. Tidak terlalu banyak seperti pagar hidup, tapi cukup banyak untuk ukuran kemangi yang ditanam di pekarangan rumah.
Amelia memarkir motornya di sebelah pura. Keduanya lantas turun dan melangkah ke rumah induk yang terletak di belakang pura. Bau harum dupa menyambut indera penciuman mereka.
Saat baru akan melangkah ke teras, seorang pria dewasa dengan outfit kasual keluar dari pintu. Amelia yang notabenenya pecinta cowok ganteng, sampai bengong melihat ketampanan pria tersebut.
"Selamat siang, Mas, eh, Bli. Apa benar ini rumah Ririn yang kerja di Hijau Zamrud?" Amelia bertanya setelah tersadar dari bengongnya.
"Ya benar. Kalian temannya Ririn?" tanya pria tersebut dan di-angguki oleh keduanya. "Ayo masuk, Ririn ada di kamar," ajaknya ramah.
Amelia dan Anjani melangkah di belakang pria tersebut. Pria tampan itu mengetuk pintu kamar Ririn sambil berujar, "Rin, ada temen kamu ini!"
"Suruh masuk, Yah!"
Yah? Amelia dan Anjani sama-sama membatin.
Pria tampan itu membuka pintu kamar Ririn. Ia lantas mempersilahkan Anjani dan Amelia untuk masuk.
"Ayah mau berangkat sekarang, Rin. Kalau ada apa-apa kabari aja," kata pria tersebut dan di-iyakan oleh Ririn.
"Ayah?" tanya Amelia saat pria tampan tersebut sudah keluar dari kamar Ririn.
"Iya, dia ayahku. Dia nikah muda, makanya sekarang masih muda gitu padahal akunya sudah segede gini," ujar gadis dua puluh dua tahun itu.
"Umur berapa?"
"Empat puluh. Dia lagi nyari calon is-istri." Ririn yang tadinya menoleh ke arah Anjani, segera membuang pandangannya ke arah jendela.
"Memangnya Ibu kamu ke mana?" tanya Amelia kepo.
"Sudah meninggal."
"Boleh kalau ayah kamu aku gebet?"
"Silahkan kalau memang dia mau sama kamu. Akhir tahun ini aku mau nikah, nggak tenang juga rasanya ninggalin dia sendirian di rumah. Kasihan. Kalau ada istri kan enak, ada yang nemenin saat tidur, ada yang ngurusin soal makanan," celoteh Ririn tanpa menoleh sedikitpun ke arah Anjani.
"Oh iya. Ini buat kamu, Rin. Semoga cepat sembuh, ya," ujar Anjani seraya menyodorkan plastik yang ada di tangannya.
"Thanks, Jan." Ririn menerima plastik tersebut tanpa menoleh ke arah Anjani.
Gadis yang kakinya dipasang gips itu melihat sesuatu yang menempel pada Anjani. Ia tidak suka dengan makhluk itu, jelek dan bau.
Tiba-tiba Ririn tersadar akan sesuatu. Makhluk itu .... Makhluk itu adalah Langit? Langit rekan kerjanya? Serius? Atau matanya yang bermasalah?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa, Langit?
HorrorAnjani tidak menyangka jika Langit-nya ternyata telah pergi untuk selama-lamanya. Selama ini, ia pikir Langit pergi untuk mengindarinya. Melupakan janjinya. Nyatanya, pikirannya itu salah. Arwah Langit menemuinya dan meminta maaf. Maaf untuk apa? To...