6A - Gagal Fokus

1 0 0
                                    

Anjani sampai ke restoran agak terlambat. Wanita itu melangkah lebar memasuki gedung tempat kerjanya tanpa melihat kanan kiri. Pada saat ia akan melangkah memasuki dapur, sebuah tangan besar menarik tangannya agak kasar.

Refleks Anjani menoleh ke belakang, matanya langsung menangkap sosok Angga yang menyebalkan.

"Ada sih, Bos? Saya telat ini, mau kerja. Yang lain sudah mulai tuh." Anjani menunjuk rekan-rekannya yang sedang mengelap meja.

"Bilang sama pacar kamu, suruh dia masuk kerja! Kalau dalam tiga hari dia masih nggak masuk kerja juga, saya pastikan dia akan saya pecat!"

"Kenapa harus saya? Kenapa nggak bos sendiri? Bos kan sahabat dia. Memangnya ...."

"Jangan suka melawan, Anjani! Kalau saya bisa ngubungi Langit, nggak mungkin saya nyuruh kamu untuk ngubungi dia!" Seperti biasa, Angga berbicara dengan nada tinggi.

"Saya juga kehilangan kontak Langit," ujar Anjani dengan lirih. Perempuan itu menunduk beberapa detik, lalu mengangkat kepalanya lagi dan menatap Angga dengan serius. "Bos sahabat dia, kan? Boleh saya minta alamat orang tuanya Langit?"

"Saya nggak punya."

"Kalau gitu saya permisi dulu." Anjani mengangguk sopan.

Perempuan itu segera menuju dapur tanpa menunggu respon dari bos-nya. Sesampainya di dapur, ia langsung diinterupsi oleh rekannya, bahwasanya mulai saat ini koki tidak perlu mengelap meja di pagi hari. Koki langsung fokus saja mempersiapkan masakan.

Anjani mengangguk paham. Perempuan yang mendadak kehilangan semangat itu melakukan pekerjaannya agak lambat. Ia mengupas bawang dengan tatapan kosong.

Pikirannya penuh akan Langit yang sampai saat ini tidak ada kabar. Gara-gara Angga, ia jadi teringat dengan langitnya.

"Kalau kerja itu yang benar! Masih niat kerja di sini atau enggak? Kalau enggak, silahkan resign dari sini!"

"Ayam!" Anjani yang kaget, tidak sengaja melukai tangannya dengan pisau yang ia gunakan untuk mengupas bawang. Perempuan itu meringis seraya berjalan cepat menuju wastafel. Ia mencuci lukanya tanpa berani melihat jari kirinya yang teriris.

"Santai, Jan. Sini tangan kamu," ujar salah satu koki pria yang langsung menarik tangan Anjani menuju kotak P3K yang terletak di sudut dapur.

Semua orang di restoran tersebut sudah tahu, Anjani memang takut dengan luka. Luka sekecil apapun ia tidak berani melihatnya. Jika Anjani terluka, dengan segera mereka akan membantu membalut luka tersebut dengan plester atau kain kasa, agar luka tersebut tidak dapat dilihat lagi.

"Sudah tau takut luka kenapa malah ngambil hot kitchen sih, Jan? Kenapa nggak ngambil pastry aja? Kayaknya alat-alat pastry lebih bersahabat deh, nggak ada pisau-pisauan gini," komentar Bobby yang sedang menyobek kertas pembungkus plester.

"Aku nggak suka pastry. Ribet. Harus nimbang-nimbang, harus ngadon-ngadon tepung. Rempong banget." Anjani berujar tanpa melihat ke arah lukanya. Ia mengarahkan tangannya ke belakang, tidak berani melihat luka di tangannya walaupun ia tahu luka tersebut sangat kecil.

"Harusnya kamu nggak kerja di dapur, dapur terlalu beresiko buat kamu yang takut luka. Nah, sudah."

"Thanks, Bob."

"No problem."

"Makanya lain kali hati-hati! Jangan ceroboh! Kalau kerja itu harus pakai semua indera! Mata itu dipakai buat melihat, bukan buat melamun!" Angga yang sedang membuat bumbu untuk ayam betutu, berujar seraya melirik ke arah Anjani.

Anjani hanya berdecak pelan seraya melanjutkan kembali pekerjaannya. Kali ini ia memfokuskan dirinya agar tidak terluka seperti tadi.

Setiap pukul tujuh pagi, saat para karyawan siap memulai hari, Angga sudah mempersiapkan semua bahan masakan. Pria itu telah bekerjasama dengan beberapa supplier untuk memasok segala kebutuhan restorannya. Para supplier-nya mengantarkan bahan segar pada pukul empat atau lima pagi. Sedangkan untuk bahan-bahan kering, biasanya diantar siang atau sore.

Mengapa, Langit?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang