"Rin, itu kaki kamu patah? Parah nggak?" Amelia bertanya seraya menekan pelan pada kaki berbalut gips tersebut.
"Enggak ah. Enggak patah. Cuma keseleo aja," jawab Ririn santai. Gadis itu duduk di atas kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Sedangkan Anjani dan Amelia duduk di sisi ranjang.
"Kata Samuel patah?"
"Ih, berlebihan!"
"Tapi kok pakai digituin segala? Kayak patah aja. Setau aku alat itu cuma untuk patah atau retak tulang aja. Aku nih, ya, biasanya kalau keseleo ke dukun urut beres, nggak payah dibalut-balut kayak mumi begitu," komentar Amelia asal ceplos.
"Aku nggak suka diurut. Geli. Aku kalau ada apa-apa larinya ke dokter, nggak pernah ke dukun. Ini aku yang minta dipasangin ginian, biar ada alasan libur kerja. Biar keliatan kayak sakit beneran." Ririn terkikik geli ketika kata-kata terakhir itu terucap dari mulutnya.
"Ih, dukun juga nggak kalah keren dari dokter, tau! Tapi omong-omong, pintar juga ya cara kamu mengelabuhi bos pelit untuk libur kerja. Bisa dicoba ini." Amelia ikut terkikik geli.
Anjani hanya memperhatikan obrolan keduanya. Sejak tadi ia mencari waktu yang tepat untuk bertanya pada Ririn perihal bisikan-bisikan aneh yang beberapa hari ini selalu ia dengar, tapi Amelia yang ramai terus mendominasi percakapan, terus mengajak Ririn berceloteh tentang apa saja. Ia jadi tidak kebagian jatah untuk bicara.
"Aduh, aku kebelet vivis. Numpang ke toilet, ya, Rin. Di mana toiletnya?" tanya Amelia seraya berdiri dari duduknya.
"Di belakang. Cari aja nanti ketemu."
Amelia segera menuju toilet karena kantung kemihnya sudah penuh. Sebenarnya ia sudah merasakan ingin buang air kecil sejak tadi, tapi ia tahan karena terlalu asyik mengobrol dengan Ririn.
"Jan?"
"Hm?" Anjani menoleh ke arah Ririn yang sedang menatap lurus ke plafon.
"Langit di mana? Sudah hampir satu bulan dia nggak masuk kerja."
"Aku nggak tau, Rin. Aku kehilangan kontak dia. Nomornya nggak bisa dihubungi, media sosialnya juga nggak bisa dihubungi," jawab Anjani sambil menunduk, menyembunyikan wajah sedihnya.
"Em .... Kalau aku ngomong kamu diikuti hantu mirip Langit, kamu percaya nggak?" Ririn bertanya dengan hati-hati.
Mendengar Ririn menyebut kalimat tersebut, Anjani langsung mengangkat kepalanya. Perempuan itu menatap Ririn dengan serius. "Maksud kamu?"
Ririn yang sejak tadi tidak menoleh ke arah Anjani, sekarang memaksakan dirinya untuk menatap rekan kerjanya itu. "Aku serius. Aku liat sosok mirip Langit ngikutin kamu."
Sebenarnya Ririn yakin itu adalah Langit, hanya saja ia tidak mau terlalu blak-blakan, takut Anjani shock. Ia adalah salah satu saksi perjalanan cinta Anjani dan Langit.
Anjani mendadak kehilangan kata-kata. Semua kejanggalan yang akhir-akhir ini ia alami mendadak berputar kembali di memorinya. Tentang bisikan-bisikan aneh yang sering mengagetkannya. Suara bisikan itu sangat familiar di telinganya. Ya, itu suara Langit.
"Jadi maksud kamu Langit sudah meninggal?" Anjani bertanya dengan suara yang bergetar menahan tangis. Tangisnya siap meledak kapan saja.
Ririn mengangguk pelan. "Jan, maaf banget, bisa kamu pulang sekarang? Aku nggak suka Langit mati. Jelek dan bau," ujarnya dengan penuh rasa bersalah.
Anjani tidak menyahuti kata-kata Ririn. Perempuan itu menatap Ririn dengan tatapan tak terbaca.
"Mak-maksud aku arwah Langit." Ririn mengoreksi kata-katanya.
"Buset, Rin, di belakang rumah pun ada kemangi. Banyak bener kemangi kamu," ujar Amelia yang sudah selesai menuntaskan hajatnya. Gadis itu masuk ke dalam kamar sambil membenarkan celana dalamnya yang nyelip.
"Kalau kamu mau, ambil aja. Itu ayah yang nanam. Dia suka kemangi, tapi nanamnya kebablasan. Mau aku cabutin nggak boleh sama dia."
"Wah, tanaman Ayah kamu? Boleh minta? Wah, makan malam kali ini bakal lezat karena lalap kemangi dari ayang." Amelia berceloteh sambil menyisir-nyisir rambutnya menggunakan jari. "Pakai nasi hangat, sambal terasi, ikan asin, kemangi ayang, wah mantap."
"Ya udah sana ambil!"
Tanpa diperintah dua kali, Amelia segera berlari-lari kecil ke halaman depan untuk mengambil kemangi. Sementara itu, Anjani dan Ririn masih ada di dalam kamar.
Anjani tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun. Dadanya terasa sesak dan matanya benar-benar panas. Kalau saja kewarasannya sudah hilang, ia sudah teriak sekencang-kencangnya atau menangis sejadi-jadinya.
Sejak kecil perempuan itu sudah bersahabat dengan kemalangan, sehingga saat ada kejadian paling menyedihkan sekalipun datang menimpanya, ia bisa menguasai diri. Sebelum kehilangan Langit, ia sudah kehilangan nenek yang sangat ia cintai, kehilangan sahabat saat SMA, dan kehilangan kehangatan kedua orang tua.
Sejak kecil Anjani sudah diajarkan oleh kehidupan, bahwasanya perpisahan itu nyata, cepat atau lambat ia akan datang juga. Selain itu, Anjani adalah sosok yang tidak suka menampakkan kesedihannya di hadapan orang lain. Ia tidak suka dikasihani.
Ririn pun sama, ia jadi merasa canggung dengan situasi ini. Sekarang ia merutuki dirinya yang terlalu ceplas-ceplos dan tidak berpikir panjang sebelum mengatakan sesuatu. Harusnya ia bisa menyampaikan berita duka ini dengan smooth, tidak to the point seperti tadi. Pasti Anjani sangat shock mendengar langitnya sudah meninggal dunia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa, Langit?
HorrorAnjani tidak menyangka jika Langit-nya ternyata telah pergi untuk selama-lamanya. Selama ini, ia pikir Langit pergi untuk mengindarinya. Melupakan janjinya. Nyatanya, pikirannya itu salah. Arwah Langit menemuinya dan meminta maaf. Maaf untuk apa? To...