Seorang pria dengan perawatan tinggi tegap dan memiliki tampang ramah, masuk ke dapur sambil menyapa semua karyawan-karyawannya. "Selamat malam, Guys. Gimana hari ini? Masih semangat?"
"Malam, Bos Raga. Masih, Bos. Kalau ada Bos Raga kami selalu semangat."
"Sering-sering mampir sini, Bos. Kangen."
"Selalu semangat, Bos."
Para karyawan menjawab sapaan Raga bersahut-sahutan. Raga adalah adik kandung Angga. Bersama kakaknya, ia mendirikan Restoran Hijau Zamrud. Akan tetapi ia jarang mengunjungi restoran karena memiliki kesibukan yang lain.
"Anjani mana? Kok nggak keliatan?" Raga bertanya sambil celingak-celinguk melihat sekeliling.
"Shift pagi, Bos," jawab salah satu karyawan.
Raga mengangguk paham. "Oke, saya mau ke atas dulu. Semangat semuanya."
Pria berusia akhir dua puluhan itu menaiki anak tangga menuju ruang kantor yang ada di lantai tiga. Gedung restoran tersebut didesain oleh Angga yang tidak memiliki ilmu di dunia arsitektur, sehingga bentuknya memang agak aneh.
Restoran dengan tiga lantai itu didesain dengan dapur yang ada di lantai satu dan lantai dua. Lantai satu untuk hot kitchen, sedangkan lantai dua untuk pastry. Dan lantai tiganya digunakan untuk kantor. Tiga ruangan itu terletak di bagian belakang bangunan. Dapur pastry dan ruang kantor hanya dapat diakses melalui hot kitchen.
Raga pernah memprotes desain kakaknya tersebut. Tapi yang namanya Angga, ia selalu punya jawaban. "Kita perlu privasi. Aku nggak mau kantorku diakses sama sembarang orang. Kalau misalnya dapur kebakaran, aku bisa keluar lewat jendela pakai tangga tali."
Kalau sudah begitu, Raga hanya bisa geleng-geleng takjub. Kakaknya satu itu selain pelit juga agak aneh.
"Bro, kita perlu ngobrol," ujar Raga begitu ia masuk ke ruangan kakaknya. "Tentang kelangsungan restoran ini," lanjutnya lagi.
"Apa lagi yang perlu diobrolin? Semuanya sudah jelas, kan? Restoran ini sudah berjalan dengan baik." Angga menjawab tanpa menoleh ke arah adiknya. Pria berusia awal kepala tiga itu sibuk dengan gawainya, ia tengah berbalas pesan dengan pacarnya.
"Kita harus memperbaiki manajemen orang yang bobrok ini. Semua ini demi kelangsungan restoran kita. Siapa tau dengan manajemen yang rapi dan masakan yang enak, kita bisa dapat bintang Michelin."
Mendengar bintang Michelin disebut, Raga langsung menaruh gawainya di atas meja. Pria itu menatap adiknya penuh minat.
"Jadi gini, pas pagi itu biarin waiters yang bersih-bersih meja dan sebagainya, sementara koki biarkan menyiapkan bahan-bahan masakan. Satu lagi, kita harus nyari manajer untuk restoran ini," ujar Raga serius.
Selama ini kakaknya itu ngotot agar pekerjaan bersih-bersih meja dan mempersiapkan bahan masakan dikerjakan secara bersama-sama. Sungguh manajemen orang yang sangat buruk.
"Nggak perlu. Aku bisa jadi manajer di sini." Angga menjawab sambil mengibaskan tangannya di udara.
"Ck. Kamu benar-benar nggak punya manajemen orang yang baik. Kalau kamu kayak gini terus, aku nggak yakin restoran ini bakal maju."
Angga tidak langsung menjawab kata-kata adiknya. Jujur, ia masih belum rela menyerahkan tanggung jawab restoran kepada manajer yang notabenenya adalah orang asing. Ia takut orang tersebut korupsi. Ia takut bangkrut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa, Langit?
HorrorAnjani tidak menyangka jika Langit-nya ternyata telah pergi untuk selama-lamanya. Selama ini, ia pikir Langit pergi untuk mengindarinya. Melupakan janjinya. Nyatanya, pikirannya itu salah. Arwah Langit menemuinya dan meminta maaf. Maaf untuk apa? To...