Pukul sebelas malam, Anjani terbangun dengan sendirinya. Tidak ada hasrat panggilan alam atau apapun, tapi terbangun begitu saja. Ia duduk di atas kasur sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gatal karena seharian belum keramas.
Tubuh yang lengket dibalut seragam kerja menyadarkan Anjani tentang fakta dirinya belum membersihkan diri. Segera ia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Kalau ada ibunya, pasti ia akan diceramahi, "jangan mandi malam-malam, Jan. Nanti rematik."
Anjani tersenyum kecil di bawah guyuran air dingin. Sudah lama ia tidak bertemu ibunya, kurang lebih hampir tiga tahun. Tak lama setelah kedua orang tuanya bercerai, mereka langsung menikah lagi. Ibunya menikah dengan bule Australia dan sekarang menetap di Adelaide. Sedangkan ayahnya yang orang India asli, menikah lagi dengan perempuan Jawa dan menetap di Salatiga.
"Ibu apa kabar, ya? Kalau aku kaya, boleh kali ya aku terbang ke Adelaide," gumamnya seraya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang penuh busa. "Eh, katanya Bali deket kan ya sama Australia? Boleh kali ya si boke ini berenang di laut lepas? Atau naik paus deh," lanjutnya sambil terkekeh sendiri.
Perempuan itu sudah hidup sebatang kara sejak SMP. Memang ayah dan ibunya masih memberinya uang saku sampai ia tamat kuliah, tapi hanya sebatas uang saja.
Meskipun begitu, Anjani tetap menyayangi ibunya. Walaupun ibunya jarang menemuinya, tapi wanita itu setiap hari selalu mengiriminya pesan. Baik sekedar memberikan semangat ataupun ucapan selamat pagi, siang, sore dan malam.
Sedangkan ayahnya .... Hubungan Anjani dengan ayahnya tidak sebagus itu. Ayahnya hanya mengiriminya uang tanpa pernah menanyakan kabarnya. Bahkan saat mengirim uang tidak pernah mengabarinya, tahu-tahu isi rekeningnya sudah bertambah.
Suami ibunya termasuk baik, mau memberinya biaya hidup meskipun ia bukan anak kandung pria bule tersebut. Sedangkan ibu tirinya juga termasuk baik, hanya saja ayah kandungnya memang bukan ayah yang baik. Ah, sudahlah, akan panjang sekali ceritanya jika membahas tentang orang tua.
Guyuran air dingin membuat Anjani menggigil. Ia segera menyelesaikan mandinya dengan terburu-buru. Rumah sewanya bukanlah rumah mewah, sehingga tidak ada tabung air panas untuk kamar mandi. Mau memasak air menggunakan kompor, ia terlalu malas untuk melakukan itu.
Selesai mandi, Anjani merasa segar. Ia merasa tenaganya pulih seratus persen. Eh, tapi .... Perempuan itu meringis saat mendengar perutnya berbunyi nyaring. Cacing-cacing di dalam perutnya sedang berdemo meminta jatah.
Dengan segera, Anjani berjalan menuju dapur. Ia tergoda untuk memasak mie instan. Diraihnya mie instan rasa kari ayam dari dalam kardus.
Kali ini ia memasak tanpa direkam. Ia sedang malas membuat video. Lagipula hanya memasak mie instan biasa, tidak ada keren-kerennya sama sekali untuk diposting di media sosial.
Tak lama mie instan tersebut matang. Aroma harum menguar memenuhi hunian sempit tersebut. Anjani yang sudah sangat kelaparan, tidak sabar untuk menyantap mie instan yang sangat menggoda itu. Tapi baru saja ia akan memasukkan mie ke dalam mulutnya, ia diinterupsi oleh ketukan dari luar rumah.
"Jani, buka pintu, please! Ini Amel!"
"Amel? Ngapain ke sini malam-malam begini?" Anjani bermonolog sambil berjalan menuju pintu depan.
Begitu pintu dibuka, Amelia langsung menyerbu masuk dengan wajah masam. Gadis itu segera mendaratkan bokongnya di ubin sambil melemparkan sling bag-nya ke sembarang arah.
Anjani menatap rekan kerjanya itu dengan kening berkerut samar. Amelia mengenakan outfit serba hitam. Aneh sekali. Celana jeans hitam, hoodie hitam, kacamata hitam dan juga topi hitam.
"Kamu kesambet?" Anjani bertanya sambil menempelkan punggung tangannya di kening Amelia.
Amelia menepis tangan rekan kerjanya itu sambil mengomel, "jangan pegang-pegang. Virus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa, Langit?
HorrorAnjani tidak menyangka jika Langit-nya ternyata telah pergi untuk selama-lamanya. Selama ini, ia pikir Langit pergi untuk mengindarinya. Melupakan janjinya. Nyatanya, pikirannya itu salah. Arwah Langit menemuinya dan meminta maaf. Maaf untuk apa? To...