Pukul lima sore, motor yang dikendarai Amelia melaju dengan kecepatan sedang. Di belakangnya, Anjani berkali-kali mengelap air mata yang meleleh di pipinya.
Anjani tidak bisa lagi menikmati pemandangan indah di sepanjang jalan. Pikirannya benar-benar kacau.
"Jan, mampir ngopi bentar ya? Sambil cuci mata."
"Iya." Anjani hanya menjawab dengan singkat.
Amelia memarkirkan motornya di sebuah kafe kecil yang memiliki atap berbentuk jamur dan berwarna putih biru. Persis bangunan yang ada di Santorini. Mungkin kafe tersebut terinspirasi dari bangunan-bangunan yang ada di salah satu pulau yang ada di Yunani itu.
Anjani mengikuti langkah Amelia masuk ke dalam kafe. Sebenarnya ia ingin segera sampai di rumah dan menumpahkan tangisnya, tapi ia tidak tega menolak keinginan Amelia.
"Mbak, pesan frappuccino vanila satu, sama chicken cordon blue tapi nggak pakai ayam, ya. Pakai telur sama sayuran aja. Saya vegetarian soalnya," ujar Amelia pada kasir yang duduk manis di balik komputer.
"Maaf, Mbak, nggak bisa. Chicken cordon blue tetap pakai ayam," tolak sang kasir dengan halus.
"Tapi saya nggak makan protein hewani."
"Maaf mungkin bisa pesan menu lain?"
Amelia tampak berpikir sejenak. Sebenarnya gadis itu bisa makan apa saja. Ia hanya sedang mengerjai karyawan kafe tersebut. Pasalnya, saat sedang bekerja ia sering mendapatkan orderan yang aneh-aneh. Misalnya gado-gado tidak pakai kol dan kecap, atau orderan aneh lainnya. Oleh karenanya, saat sedang makan di luar ia senang membalas dendam pada karyawan-karyawan lainnya.
"Ya sudah, lava cake aja deh." Akhirnya Amelia menyerah. "Kamu mau apa, Jan?" tanya Amelia seraya menyenggol pelan lengan Anjani.
"Eh? Es american .... Es cappucino aja, Mbak."
"Dingin atau panas, Mbak?"
"Es, Mbak."
"Oh, maaf maaf." Kasir tersebut mengangguk beberapa kali. "Atas nama siapa?"
"Amel, Mbak."
Tangan kasir tersebut lincah menari-nari di atas keyboard. Setelahnya, ia menyebutkan nominal angka yang harus dibayar.
Setelah memesan, Amelia dan Anjani memilih tempat duduk di bagian outdoor. Seperti restoran dan kafe lainnya yang ada di kisaran Kintamani, kafe tersebut juga menyuguhkan pemandangan salah satu kaldera terindah di dunia.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Amelia menatap wajah Anjani lekat-lekat. Gadis itu merasakan ada yang tidak beres dengan Anjani, tapi sejak tadi setiap ia bertanya, Anjani hanya menggeleng dan mengatakan tidak ada apa-apa.
"OMG, aku lupa minta tolong Ririn untuk nyantet Bos Angga." Amelia menepuk keningnya karena baru mengingat salah satu tujuannya mengunjungi Ririn. "Btw, kamu kenapa, sih, Jan? Dari tadi aku perhatiin murung terus. Eh, sedih. Kenapa, sih?" tanyanya seraya menatap Anjani lekat-lekat.
"Aku nggak papa. Cuma agak ngantuk aja. Biasalah, habis pulang kerja belum sempat istirahat," jawab Anjani dengan bibir tersenyum paksa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa, Langit?
HorrorAnjani tidak menyangka jika Langit-nya ternyata telah pergi untuk selama-lamanya. Selama ini, ia pikir Langit pergi untuk mengindarinya. Melupakan janjinya. Nyatanya, pikirannya itu salah. Arwah Langit menemuinya dan meminta maaf. Maaf untuk apa? To...