33. Selintas Kenangan.

99 17 10
                                    

Hari itu langit terlihat gelap, udara juga agak dingin. Matahari yang biasanya menerangi kota bandung tiba-tiba tidak muncul sejak pagi.

Pemuda dengan surai dark brown duduk di sebuah halte. Pengemudi yang lewat dengan kendaraan mereka sesekali menoleh ke arah pemuda itu. Mereka berfikir,Apa mungkin ada yang menarik di sepatu Pemuda itu, sehingga kepala itu terus menunduk ke bawah?

Nyatanya tidak ada apapun di sepatu pemuda itu selain coretan tanda tangan kecil dengan spidol berwarna biru.

Tanda tangan yang jelek, bahkan bukan milik seorang artis.

Suara dering ponsel terdengar beberapa kali, tetapi pemuda itu masih diam. Sama sekali tidak terlihat keinginan untuk menjawab panggilan-panggilan itu.

Tring..~

Bulu mata pemuda itu bergerak sedikit. Dengan ragu mengeluarkan hp yang sudah lama berada di saku jaket kulit berwarna hitamnya, dan melihat sebuah nama dari kontak di hpnya mengirimkan pesan.

Tara lalala

|Lo Dimana?

Pemuda itu Menggerakkan jarinya, tapi bingung harus membalas apa. Apakah harus mengatakan bahwa dia tidak akan datang, atau haruskah mengatakan yang sejujurnya.

Bahwa dia tiba-tiba menjadi seorang pengecut yang lari dari kenyataan.

Bagaimana pun, semuanya karna dia. Dia yang menyebabkan semuanya.

Bunyi dering hp kembali terdengar, kali ini panggilan telfon berasal dari kontak yang barusan mengirimkan pesan.

Pemuda itu menatap layar hpnya dengan linglung, tapi masih dengan ragu menjawab telpon itu dan mengangkat hpnya ke telinganya.

"Ray.."

Suara diseberang telpon itu terdengar bergetar, membawa begitu banyak kesedihan. Seolah mengatakan bahwa dia tidak baik-baik saja.

Pemuda Dengan surai dark brown itu memang Ray. Entah apa yang di pikirkannya hingga orang di seberang sana sejenak merasa ragu apakah panggilannya telah tersambung atau tidak, karna tak ada jawaban apapun dari ray setelah beberapa saat.

"lo ngga dateng?"

Ray masih diam, ngebiaran suara nafasnya yang pelan terdengar ke seberang telfon. Tara yang di seberang telfon tiba-tiba mendengus.

"bener juga. Mending lo ngga usah dateng. Kalau lo ngga pergi malam itu, dia ngga bakal mati. Kalau aja lo bisa nunggu sebentar aja sampe gua dateng, dia ngga bakal gantung diri !"

Rasa asam menyengat hidung ray yang tinggi, matanya yang dulu cerah dan penuh cahaya masa muda, kini tampak lebih dalam dan merah. Tenggorokannya kering seolah tidak minum Berhari-hari, membuat lidah itu kelu dan bibirnya pucat.

Banyak kata yang ingin ray sampaikan, tapi pada akhirnya hanya satu kata yang berhasil keluar.

"maaf.."

"......"

Tara tidak tau harus berkata apa untuk membalas kata maaf ini. Dia sangat sedih, tapi juga marah di saat yang bersamaan.

Sangat marah hingga dia ingin mendatangi ray saat itu juga untuk menghajarnya.

"Dia Udah Mati, Ray!"

Ray menggigit lidahnya, menahan isak tangis yang ingin keluar saat itu juga.

"gua tau."

SINGING ON THE SCHOOL ROOFSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang