3. Takdir yang Tak Diinginkan

7.7K 1K 73
                                    

Gavin terduduk dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Matanya hanya bisa mengikuti ke mana cewek misterius itu melangkah.

Gavin tidak pernah melihat dia sebelumnya, bahkan dia tidak tahu kalau ada cewek sehebat itu. Padahal Gavin sudah cukup melebarkan tongkrongan, setidaknya sedikit-sedikit Gavin harusnya pernah mendengar.
Dari cara dia bertarung, jelas sekali dia punya jam terbang yang tidak sedikit.

"Vin, bantuin gue...."

Gavin tersadar, dirinya pun menghampiri Farel yang masih terbaring di aspal dengan penuh ringisan. Luka dia cukup parah hingga tidak bisa lari seperti tadi teman-temannya.

Wajah Gavin pun babak belur, bukan hanya sekedar lebam, tapi darah yang sampai menetes ke seragam itu bukan bohong. Cewek tadi menyerang dengan sangat brutal.

"Aws ... pelan-pelan." Farel meringis begitu Gavin menarik tangannya. Gavin lupa bahwa tadi cewek itu menginjak bahu kiri Farel.

Cewek aneh. Dia tak hanya menyerang pihak Gavin, tapi juga anak 23, padahal tadi jelas-jelas Gavin melihat cewek SMA itu keluar dari sana. Jadi, apa motifnya?

Apa pun itu, pokoknya cewek misterius, Gavin pasti akan menguaknya.

oOo

Bella berjalan menapaki jalan di depan rumahnya. Tubuhnya terlihat lungai. Bukan karena lelah atau kehabisan tenaga, tapi pergolakan dahsyat yang kini terjadi dalam batinnya.

Bella melihat punggung tangannya yang penuh dengan coretan-coretan darah orang. Mengantarkan pada bayangan-bayangan tadi di mana dirinya menggila.

"Bella bego, kenapa lo harus lepas kontrol, sih?" ucapannya dengan gurat penyesalan yang begitu jelas di wajahnya.

"Kenapa lo malah mukulin orang Mabella!" Bibir Bella menekuk ke bawah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Tepat saat ia mencapai teras, Bella menjatuhkan dirinya. Dia terduduk dengan kedua kaki menendang-nendang layaknya anak TK yang tengah mengamuk.

"HUWA  .... MAMA...!"

Tangis Bella pecah. Air mata bercucuran dengan suara yang bisa menyakiti gendang telinga. Bella terisak sangat hebat.

"Loh, Dek? Lo kenapa?" tanya Dhika begitu ia keluar.

"ADA YANG NYAKITIN LO?!" serunya berubah panik begitu melihat keadaan Bella yang tidak baik-baik saja. Meskipun dia sering membuat Bella kesal, ia akan menjadi orang yang maju paling depan ketika ada yang menyakiti adiknya itu.

Dhika berjongkok. Ia menangkup kedua sisi wajah Bella, menatap wajah adiknya yang penuh derai air mata dengan isakan yang memilukan.

"Siapa yang berani-beraninya ganggu adek gue? Bilang!"

Bella tak menjawab, ia terlalu kewalahan dengan tangisannya sendiri.

"Cup ... cup ... cup ... diem, mana yang sakit? Ini?" Dhika mengusap-usap pinggiran dari luka di pelipis Bella.

"Udah nggak papa ini, gue tiupin tuh," bujuk Dhika, tetap berusaha menenangkan adik semata wayangnya itu.

Bella menggeleng.

"Bukan ini yang sakit?"

Bella mengangguk.

"Ada yang lebih sakit?"

Bella mengangguk lagi.

"Mana?"

Bella menepuk-nepuk dadanya.

Dhika mengernyit sebentar sebelum tiba-tiba bangkit dengan raut bringas. "Mana cowoknya?! Siapa yang berani-beraninya mutusin adek gue?!"

Tangis Bella semakin kencang karena Dhika tak menangkap apa yang dirinya maksud. Tahu tidak sih menyebutkan penyebab tangis saat kita sedang menangis itu malah membuat kita semakin ingin menangis.

PacaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang