Tinggalkan jejak sebelum atau sesudah membaca
____Pada Tahun 2005....
Seorang wanita berjas putih dengan perut buncit tersenyum hangat saat bersalipan dengan orang-orang yang dikenalnya, entah itu dari yang sama-sama bekerja di tempat ini ataupun yang menetap sementara di sini.
"Dokter Jena gak mau ambil cuti aja? Ngerih aku liatnya," ucap seorang Dokter yang membantu wanita itu untuk duduk dengan nyaman dikursinya.
Setelah duduk, Jena tersenyum di hadapan Dokter Yulis. "Kurang lebih seminggu lagi aku akan mengambil cuti," jawabnya ramah.
Yulis mengangguk paham lalu mendudukkan dirinya di samping Jena. Wanita itu ikut mengelus sayang perut Jena yang membesar.
"Rasanya pasti bahagia banget ya Dok bisa rasain hamil anak sendiri," lirih Yulis menatap sendu perut Jena.
Jena terdiam, wanita itu menatap iba ke arah Yulis. Jena tau maksud perkataannya. Yulis diceraikan oleh Suaminya, dan itu karena dirinya tak bisa memberikan keturunan pada pria itu.
Mengelus pelan pundak Yulis, Jena berusaha memberikan wanita itu semangat.
"Anakku bisa jadi anak Dokter Yulis juga. Dokter bisa anggap anakku sebagai anak sendiri," ucapnya mendapat anggukan pelan dengan senyuman tipis oleh Dokter Yulis yang mengusap pelan ujung matanya yang berair.
BRAK...
Yulis dan Jena langsung menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka secara kasar oleh seorang Dokter senior.
"Ditemukan mayat lagi di belakang rumah sakit. Ini sudah keenam kalinya," katanya dengan nada emosi.
Jena dan Yulis saling tatap. Selama kurang lebih sepuluh bulan ini memang selalu ditemukan mayat dengan kondisi mengenaskan di belakang rumah sakit. Entah siapa yang melakukan hal keji tersebut, dan apa motif dibalik pembunuhan.
Anehnya, mayat yang ditemukan pasti merupakan mantan pasien mereka. Kebanyakan dari mereka merupakan pasien yang berhasil dalam operasi ginjal.
"Dokter Jena lebih baik pulang lebih cepat mulai sekarang. Aku takut Dokter kenapa-napa," kata Yulis pada Jena.
"Tapi nanti malem jadwal aku jaga malam," lirih Jena menjawab Yulis.
.....Seorang pria menatap tak percaya jejeran foto yang terpasang di dinding ruangan seorang yang sangat ia percayai. Kecurigaan semua orang yang ia bantah dan coba buktikan ketidakbenarannya justru kini terpampang nyata di hadapannya.
Jejeran foto korban pembunuhan berantai itu terpampang jelas. Berbagai foto ada di sana. Foto saat korban masih tersiksa diakhir hidupnya atau saat sudah menutup mata.
"Raka?"
Pria itu tersentak mendapatkan teguran dari seorang di belakangnya.
Berbalik badan, Raka menatap mata yang selalu kosong itu dengan tatapan kecewa.
Awalnya Raka membantah tuduhan Jaksa lain yang menuduh teman kerjanya sebagai pelaku pembunuhan hanya karena para korban meninggal merupakan pelaku kasus mereka yang berhasil bebas atau mendapatkan hukuman tak sepadan dengan perbuatannya. Mereka menuduh wanita berwajah cantik pemiliki sorot mata dingin itu hanya karena dirinya tak pernah menunjukkan ekspresi tertentu dan selalu menatap dalam pelaku dalam kasus yang ditanganinya.
"Soya ini??--"
DOR...
Tubuh Raka langsung ambruk ke bawah saat tembakan itu terkena lengannya.
Memegangi lukanya yang terus mengeluarkan darah, Raka tak sadar jika Soya sudah berjalan ke arahnya.
"Seharusnya kau tak ikut campur," katanya mengarahkan pistol di depan kepala Raka.
"Kenapa kau melakukannya?" lirih Raka mendapatkan senyuman dari Soya. Senyum tipis yang terlihat menakutkan.
"Keadilan. Hukum tak bisa memberi keadilan yang adil untuk pelaku, dan aku hanya mengadili mereka dengan adil," santainya menjawab Raka yang menggeleng tak percaya.
Memejamkan matanya dalam, Raka sudah pasrah jika memang wanita itu akan menembaknya detik ini juga. Tidak mendapatkan siksaan yang sama seperti korban-korban sebelumnya saja sudah cukup membuat Raka bersyukur.
DOR...
Bukan Raka, pria itu membuka matanya dan melihat Soya yang terduduk sambil memegangi kakinya yang mengeluarkan banyak darah.
Menoleh ke belakang, Raka bisa melihat beberapa rekan kerja sesama Jaksa berdiri di depan pintu. Salah satu diantara mereka lah yang telah melumpuhkan Soya.
"Kak Raka!" teriak Jaksa paling muda menghampiri Raka.
"Kak Raka gapapa?" tanyanya diangguki lemas oleh Raka.
"Tak apa Roni, tapi sepertinya aku mengeluarkan banyak darah," katanya langsung membuat pemuda itu menoleh ke luka tembakan Raka.
.....Jena menutup mulutnya terkejut saat baru mengetahui bahwa pasien darurat yang baru saja dibawa adalah Suaminya. Wanita itu buru-buru ke ruangan sang Suami begitu tau Suaminya telah siuman.
"Mas Raka--" rengek Jena berhambur memeluk Suaminya.
"Mas gapapa sayang," lirih Raka mengusap pundak Istrinya yang naik turun karena menangis sesenggukan.
Jena melepas pelukannya dan menatap Raka dengan mata sembabnya. "Aku takut mas kenapa-napa"
Raka tersenyum tipis, tangannya terulur mengusap pipi Istrinya yang basah karena tangisan.
"Kamu lihat sekarang, Mas gak kenapa-napa bukan?"
Jena menganggukkan kepalanya beberapa kali lalu berhambur memeluk Suaminya itu kembali.
"Jangan khawatir, Mas gapapa. Kita sudah menemukan delapan dugaan pelaku pembunuhan berantai. Mereka berdelapan akan dites, apakah memiliki gen psikopat atau tidak," jelas Raka membuat Jena terdiam.
Jena melepaskan pelukannya membuat Raka menatap bingung pada Istrinya yang terlihat menegang.
"Apa tes itu akurat?" cicitnya angguki oleh Raka.
"Tentu saja. Sudah ada dua orang yang tes dan itu akurat. Selama ini kita kesulitan menangkap para bedebah yang membunuh dengan keji para korbannya. Kini kita bisa melakukan tes pada tersangka," jelas Raka mendapatkan senyum kaku dari Jena yang tiba-tiba merasa tak nyaman.
"Dugaannya ada tujuh psikopat yang membunuh korban dengan ciri khas sendiri. Jika tujuh diantara delapan orang itu positif, maka kita tak perlu mencari pelaku lain. Mereka membunuh setiap korbannya dengan keji dan meninggalkan jejak tertentu," terang Raka tak terlalu didengarkan oleh Jena yang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Melihat wajah Istrinya yang menegang, Raka menyentil pelan keningnya. Pria itu tertawa pelan melihat Istrinya tersentak kaget.
Membawa tangan Jena ke dalam genggamannya, Raka mengecup tangan itu lumayan lama sambil memejamkan matanya, sebelum kembali menatap sang pujaan hati.
"Jangan memikirkan hal berat. Kau cukup fokus pada anak kita, hm?" katanya meyakinkan sang Istri.
......
Cerita yang saya buat semata-mata hanya untuk menghibur dan tidak untuk menyinggung pihak manapun. Maaf jika ada salah yang tidak saya sengaja ataupun tidak saya ketahui.
......Cast di atas hanya bayangan saya semata dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan asli orang tersebut!
KAMU SEDANG MEMBACA
|EGO| know yourself [HIATUS]
Mystery / ThrillerEGO (Kesadaran Diri) Tiruan...? Apa yang terpikirkan olehmu saat mendengar kata itu? Meniru karya orang? Atau menjiplak tanpa izin? Ya kurang lebih seperti itu. Tapi ini bukan tentang karya. Ini tentang manusia gila yang meniru ciptaan Tuhan sebagai...