вαɢιαɴ 6|| 2010 вυĸαɴ pѕιĸopαт

36 5 0
                                    

Pada Tahun 2010

Seorang pria di balik kaca tengah menatap santai tujuh anak yang tengah menyibukkan diri dengan mainan di tangannya.

Anak-anak berusia lima tahun itu bermain dengan hewan mereka. Bukan hewan peliharaan, tapi hewan yang mereka jadikan karya seni.

"Anda berkata bahwa memori ingatan mereka dari yang asli akan muncul perlahan diumur sekarang," kata seorang di sampingnya diangguki oleh pria itu.

"Mereka sudah ingat nama mereka. Ah_ralat, maksudku nama yang asli. Dan nama itu akan menjadi nama mereka sampai mereka sadar bahwa mereka bukan pemilik nama tersebut," jawabnya masih fokus pada sekumpulan anak-anak paling berbahaya.

Pria itu terlihat menyunggingkan ujung bibirnya ke atas saat melihat salah satu diantara mereka berhasil melakukan operasi pada hewan percobaannya.

"Siapkan lebih banyak tikus untuk anak nomor empat. Dia terlihat sangat menikmati saat membedah kepala tikus-tikus itu," titahnya diangguki patuh oleh orang di belakangnya yang segera pergi menjalankan perintahnya.

Merasa cukup memperhatikan mereka, pria itu berbalik berniat pergi dari tempat itu untuk menjalankan pekerjaannya yang lain.

"Besok lakukan tes. Berikan kertas dan suruh mereka menulis nama mereka. Jika ada yang belum ingat nama yang asli, maka kurung dia seharian penuh," perintahnya sebelum memasuki mobilnya.

Para penjaga tempat itu membungkuk sopan melepas kepergian atasan mereka yang menjadi pihak utama atas percobaan manusia-manusia berbahaya yang berada dalam bangunan tersebut.

"Nomor enam," tegur seorang wanita yang bertugas mengawasi para anak-anak bermain.

Anak dengan tanda lahir berbentuk angka enam di lengan kanannya menoleh saat merasa terpanggil.

"Kenapa tikus milikmu tetap sama?" tanyanya membuat anak itu spontan menoleh pada tikus-tikus di hadapannya.

"Lihatlah anak lain, tikus-tikus mereka sudah menjadi karya," lanjut perempuan itu melihat kebingungan anak laki-laki tersebut.

Mengedarkan pandangannya menatap anak-anak lain yang berada di sekelilingnya, nomor enam terlihat menunduk dengan jemari saling bertautan satu sama lain.

"Aku akan mencobanya," katanya diangguki oleh wanita itu.

Wanita itu berdiri lalu berjalan menjauh dari sekumpulan anak-anak yang tak boleh ia sepelekan.

Membaca tumpukan kertas-kertas yang tersimpan dengan aman di lemari ruangan khusus, wanita itu nampak mencari data yang ingin ia temukan.

"Kalian yakin nomor enam adalah kloning murni dari yang asli? Dia tak seganas nomor dua, empat, dan tujuh," tanyanya pada orang yang ikut bersamanya.

"Pemimpin mengatakan begitu. Yang memiliki sifat murni dari yang asli adalah kloning nomor dua, empat, lima, enam, dan tujuh. Sedangkan satu dan tiga tercampur gen lain," jelas orang di belakangnya membuat wanita itu memijat pelan pangkal hidungnya. Mungkin saja nomor enam belum mengingat memori yang asli.

Dari pemantauan mereka. Nomor kloning yang memiliki perilaku layaknya psikopat sesungguhnya adalah nomor dua, empat, dan tujuh. Sedangkan nomor lima, meskipun memiliki gen murni dari tiruannya dia tetap tak bisa seganas yang lain karena yang asli pun nyatanya bukan psikopat sempurna.

"Nomor satu memiliki perkembangan yang sangat lambat," kata orang di belakangnya membicarakan kloning lain.

Wanita itu menatap data ditangannya setelah mendengar perkataan rekannya. Tepat di kertas itu terpampang jelas biodata dan foto dari orang yang asli.

"Karena dia hanya murni jenius. Jika tak ada perkembangan sama sekali, dan dia tetap tak bisa mengingat memori dari orang yang asli. Kita akan menahan dan mengujinya di sini sampai dia ingat," katanya lalu kembali menyimpan tumpukan kertas penting itu di tempat semula.
.....

"Zeya sini peluk Om"

Gadis kecil berusia lima tahun itu langsung berlari menghampiri pria yang sering datang ke rumahnya sambil membawa oleh-oleh dengan senyum ceria.

Roni langsung memeluk dan membawa tubuh Zeya dalam gendongannya begitu anak itu sudah berada tepat di hadapannya.

"Heum_ wangi," puji Roni begitu mencium aroma tubuh Zeya yang baru saja mandi.

Yulis yang baru datang membawa sarapan tersenyum tipis melihat interaksi mereka berdua. Yulis senang melihat Roni yang sudah tak menaruh kecurigaan pada anak itu. Tapi disisi lain Yulis juga merasa sangat bersalah pada mendiang temannya yang ia curigai sebagai pembunuh.

Melihat Zeya yang tumbuh menjadi anak pintar dan ceria seperti anak lain, sudah membuktikan bahwa Jena tak memiliki gen psikopat. Wanita itu sangat menderita, bahkan diakhir hidupnya ia tak memiliki kesempatan sekalipun untuk berjumpa dengan putri yang diharapkannya.

Roni menurunkan tubuh Zeya secara perlahan. Pria itu ikut tersenyum saat gadis kecil di hadapannya menunjukkan senyuman tulusnya.

"Om cuman sebentar di sini," kata Roni mendapatkan raut cemberut dari anak itu.

"Katanya Om bakal temenin Zeya main"

"Iya, besok Om temenin Zeya main. Hari ini Om harus kerja," jelasnya diangguki lesu oleh anak itu.

Roni tersenyum bangga, pria itu mengusap gemas kepala Zeya. Tatapannya beralih pada Yulis yang tengah memandang mereka.

Yulis mengangguk sembari bergumam ke arah pria itu. "Pergilah"

Setelah Roni berpamit pergi, Yulis baru mendekat untuk menghibur anaknya.

"Wah! Mainannya banyak," antusias Yulis mengeluarkan barang bawaan Roni yang diberikan pada Zeya. Wanita itu berusaha menghibur anaknya agar tidak sedih ditinggal oleh Pamannya yang tak menepati janji untuk bermain bersama.
.....

"Selama lima tahun terakhir, sudah ada lebih dari lima orang ditemukan tewas dengan jari tengahnya yang hilang, juga kasus korban ginjal yang masih terus menghasilkan korban. Kasus-kasus pembunuhan ini persis seperti pada tahun 2005. Tapi diketahui dua pelaku telah ditemukan meninggal empat tahun lalu bersama psikopat lainnya," jelas salah seorang Jaksa menunjukkan bukti-bukti berupa foto korban pada Jaksa lain dan Detektif yang ikut hadir dalam penuntasan kasus ini.

Roni memijat pangkal hidungnya melihat foto-foto itu. Kepalanya pening melihat jari korban yang hanya tersisa empat, sedangkan jari tengah selalu diambil oleh pelaku.

Entah untuk koleksi, atau kesenangan pribadi Roni tak tahu. Pelaku ini selalu mengambil jari yang dipotongnya dari korban.

Sedangkan kasus tuduhan untuk Jena hanya sekedar mengambil ginjal tapi tak membawanya. Ginjal itu pasti selalu ada di sekitar tempat ditemukannya jenazah.

"Psikopat gila! Apakah mereka bersekongkol mempermainkan kita dengan meninggalkan jejak pembunuhan yang sama dengan psikopat lain?" marah Dayat melempar kasar foto di tangannya.

Roni terdiam. Untuk Jena, dirinya sungguh merasa bersalah. Karena ia yakin Istri rekannya itu tak bersalah. Tapi untuk saat ini Roni tak bisa mengungkap kebenarannya karena takut menyakiti Zeya.

Tapi mungkinkah selain Jena, masih ada orang lain yang menjadi korban tuduhan ini? Apakah mereka telah salah menangkap pelaku untuk kedua kalinya?

.......
Cerita yang saya buat semata-mata hanya untuk menghibur dan tidak untuk menyinggung pihak manapun. Maaf jika ada salah yang tidak saya sengaja ataupun tidak saya ketahui.
......

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK!
☞ ☆ ☜

|EGO| know yourself [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang