Baru dia ingat, kalau sedari kecil, setiap dia peluk-peluk dan unyek-unyek mukanya, Widya selalu menangis, cengeng, Farhaz awalnya tak mengerti, karena berpikir Widya tak suka dia. Farhaz itu kecil, mungil, dekil meski ganteng, dia kira karena Widya tak suka padanya.
Padahal Farhaz selalu jadi pahlawan Widya saat Widya kena bully, Farhaz rela jadi tameng Widya, segalanya. Bahkan mendiang ibu Widya bilang, tolong jagain Widya ya.
Jelas tanpa disuruh, Farhaz siap sedia.
Namun entah kenapa, Widya pindah saat mereka ke jenjang kelas tiga SD, setelah itu Farhaz tak pernah bertemu Widya, tetapi ingatan soal sosok yang dicintainya sedari kecil terpatri jelas. Jadi, secantik apa pun kembang desa atau bahkan taman desa, tak secantik Widyanya yang gemoy.
Kini, Farhaz menatap kedua tangannya, dia memang memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata, kata orang-orang. Bukan tanpa alasan, Farhaz selalu kerja apa saja yang berhubungan dengan otot sedari kecil. Meski demikian, genetik bawaan sepertinya juga berpengaruh, kata ibunya Farhaz mendorong keranjang bayinya yang kayu itu dengan mudah padahal dia baru bisa merangkak.
Ngeri juga.
Kalau dia sudah sekuat itu, maka di masa lalu memang ....
"Ck, gua masih kecil saat itu, mana gue paham itu nyakitin dia." Farhaz menggaruk belakang kepala kesal. "Gua sayang sama dia, mana mungkin ngelakuin hal sama."
"Kalau gitu, sih, Bos. Buktikan aja Bos gak bakal lakuin hal tersebut. Ciwik, suka cowok yang gak kasar, humoris, romantis, lemah lembut, unyu, kayak di nopel-nopel, Bos."
"Kebalikan gua banget ya." Farhaz mendengkus. "Gimana gue belajarnya jadi laki begitu?"
"Tenang, Bos, kami bakalan bantu!" Jek berkata dan Jo mengangguk setuju.
"Dih, lu pada emang bisa? Penampilan kita gak beda jauh noh!" Farhaz meremehkan mereka.
"Jangan salah, Bos. Kami paham cara jadi cowok baik-baik, serius!" Farhaz menatap malas mereka. "Serius, Bos!"
"Gak, gue gak percaya! Gue mau cari orang lain sebagai suhu gue aja," katanya, pun menatap sekitaran. Hm tak ada tanda-tanda pria sesuai kriteria itu. "Mending lu cariin guru buat gue, jangan ngarep lu jadi guru gue!"
"Mm si-siap, Bos." Jek dan Jo bertukar pandang sejenak.
Mereka pun makan nasi padang bersama, dan tentu saja mengganti gelas yang tak sengaja Farhaz pecahkan, barulah setelah itu mereka berjalan keluar. Saat berjalan itu, duo J celingak-celinguk, mencari guru untuk bosnya.
Padahal bisa cari lewat ponsel, tapi sayang ketiganya agak gaptek soal tersebut.
Sejenak, Farhaz berhenti di kedai jus, pria itu ingin membeli jus alpukat di sana.
"Lu berdua mau jus apaan?"
"Jus jeruk aja, Bos, keduanya." Jo menjawab dan Farhaz mengangguk.
"Jus alpukat satu, jus jeruk dua." Farhaz memberitahu penjual.
"Si-siap, Bang. A-apa dibayarnya pake uang keamanan?" tanya si penjual.
"Uang keamanan? Uang apaan tuh?" Farhaz menatap bingung. "Emang totalnya berapaan?"
"Li-lima belas ribu, Bang."
Farhaz mengeluarkan dompet, mengeluarkan uang dua puluh ribuan di sana, kemudian menyerahkan ke sang penjual. "Ini usus berapaan?"
"Lima ribuan perbungkus, Bang."
"Ini satu." Farhaz mengambil usus ayam rasa balado kemudian menyerahkan uang ke si penjual. Setelah itu, dia membukanya, dan membaginya ke Jo dan Jek.
"Pedes, Bos, saya gak tahan." Jek merengek.
"Ya udah beli yang original, harganya sama kan?" Si penjual mengangguk seraya menyiapkan pesanan mereka. Farhaz menambah lima ribu lagi dan mengambil rasa original.
"Wah wah wah, preman dari mana lu hah berani-beraninya masuk wilayah keamanan gue?" Ketiganya menoleh ke sumber suara, tampak beberapa pria sangar menatap nyalang Farhaz CS yang menatap bingung ke mereka.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Gemoy Gue ✅
Romance"Weeheeee!" Tiba-tiba, si pria sangar tetapi memang berkharisma itu, berteriak dengan senyum lebar, semua kaget. Dan si karyawan yang tadi dia pegangi kerah, kini dia keteki lehernya. "Lu Wiwid, kan?" Widya terkejut akan hal tersebut, Wiwid katanya...