Chapter 20

2K 92 1
                                    

"Farhaz, kamu akan pulang?"

"Iya, Guru, aku bakalan pulang, tapi bukan berarti aku mutus silaturahmi sama kalian, kok. Aku sadar, kota bukan tempat kami, jadi yah ... aku bakalan tetap di kampung aja, ngurus sawah dan kebun, kalau ada apa-apa panggil aja aku bakalan datang, kok." Eko tak menyangka, Farhaz menyerah kah? "Semoga kalian terus bahagia, ya."

"Wiwid, kalau kamu belum siap maafin aku, aku ngerti, kok, gak papa. Aku janji gak akan jadi cowok kasar, pemaksa, dan sikap buruk. Nanti kita chit-chat terus, ya, Widya."

Semua yang mendengarnya syok, Eko bahkan mendekati Farhaz. "Haz, kamu nyerah gitu aja? Kenapa?"

"Aku bukan nyerah, Guru. Aku sadar diri." Farhaz menjawab seadanya. "Aku gak mau memaksakan kehendak, kan Guru yang ajarin itu, dan lagi ... aku gak mau temen-temenku kenapa-kenapa lagi."

"Di sini bukan tempat yang aman buat orang kek kami, jadi selamat tinggal, ya Guru. Mungkin di lain kesempatan kita ketemu lagi."

Farhaz lalu menatap Widya. "Aku gak bosen bilang maaf ke kamu, kok. Maaf, ya."

Widya sangat ingin memaafkan Farhaz, dia harusnya mengatakan sesuatu, katakan ... katakan saja!

Ia mohon, bersuara, jangan diam ....

"I-iya ...." Dan akhirnya, Widya bisa bersuara, dia benar-benar menghargai usaha Farhaz berubah untuknya, meski entah kenapa di satu sisi ada hal yang membuatnya tak rela. "Aku, maafin kamu, Farhaz."

Mendengar jawaban itu, Farhaz semakin tersenyum manis. "Makasih banyak, ya, Wid. Sekarang aku jadi lebih lega, kita temenan, ya. Chit-chat, seru juga kalau calling, vidcall, iya gak?"

"I-iya ...." Widya entah kenapa tak rela ....

Perasaan aneh. Apa dia ... mulai memupuk rasa pada Farhaz? Karena perubahan Farhaz, perlahan Widya melihat sisi lain dari kehidupan masa kecil yang penuh traumanya. Farhaz pelindungnya, Farhaz orang yang suka memujinya, Farhaz dan segala ketengilannya ....

Oh, tidak tidak.

Widya hanya bisa diam, membiarkan Farhaz pergi, mereka tak ada hubungan apa pun. Sebatas teman saja, sudah, cukup sampai di situ. Keputusan Farhaz kan sampai di sana.

Adnan sekeluarga sebenarnya sangat menyayangkan akhir kisah keduanya, tetapi Widya dan Farhaz sudah dewasa, mereka punya jalan sendiri-sendiri. Mereka tak seharusnya ikut campur terlalu dalam kalau mereka sendiri tak ingin diikutcampuri.

Kini, setelah kunjungan tersebut, Farhaz masih ada beberapa hari di sana, selain mengurus Jo dan Jek, ia juga ikut persidangan menghukum mereka yang pantas dihukum. Akan tetapi, ada kondisi dari sang pelaku yang membuat Farhaz kasihan, hingga bersama Jo, Jek, serta Zora sang polisi, mendiskusikan ini kembali.

Dengan itu pun, hanya sang pencopet yang dihukum, yang lain dibebaskan bersyarat. Keputusan yang disetujui banyak insan.

"Makasih, ya, Bu Zora, udah bantuin saya dan temen-temen saya buat ngurus ini," kata Farhaz, mereka kini berjalan keluar kantor kepolisian.

"Memang sudah tugas saya begitu, Pak Farhaz."

"Ya, tapi Ibu paling ngerti saya." Farhaz tersenyum manis ke Zora. "Mau saya traktir, Bu? Kebetulan saya mau beliin Jo sama Jek juga di rumah sakit."

"Kalau Bapak memaksa, apa boleh buat?" Farhaz tertawa akan hal tersebut.

"Yuk."

"Oh, ya, Bapak terlihat lebih kalem akhir-akhir ini, atau cuman perasaan saya?" tanya Zora agak penasaran.

"Yah, saya belajar jadi pria kalem, gimana? Saya makin ganteng kan?"

Zora memutar bola mata malas. "Tapi sikap narsistik berlebihannya masih ada." Keduanya hanya tertawa lagi.

Sementara di satu sisi ....

Ini sudah berhari-hari berlalu, Widya menatap rentetan pesan yang selalu Farhaz kirimkan padanya setiap hari, dengan basa-basi sedemikian rupa, tetapi isi pikiran Widya sangat amat ... kacau.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Bos Gemoy Gue ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang