Chapter 02

5.9K 165 0
                                    

"Widya, kamu kenal dia?" tanya Rachita bingung, menatap temannya itu yang masih belum mengetahui siapa sosok di depannya.

Namun, yang pasti, kemungkinan besar dia ada masa kecilnya.

Si pria berdecak beberapa kali menatap Widya. "Wid, makin seksoy aja lu, gemoy banget pengen gue jadiin bantal gua. Nikah, yuk, Wid, gua dah ada istana di kampung."

Ebuset langsung mengajak nikah?!

"Tunggu, tunggu, jangan kurang ajar!" Widya berusaha menahan rasa malu sekaligus marah. "Kamu siapa?!"

"Lu gak kenal gua, Wid? Wah parah, sih. Parah." Wajah si pria menyedih, dan dua pria sangar di sisi kiri dan kanannya menepuk-nepuk bahu seakan menenangkan.

Ya dia tak kenal! Apa dia punya teman sesengklek ini? Ganteng tapi sengklek?

Tunggu, ganteng tapi sengklek ini ....

Mata Widya membulat sempurna mengingat masa lalunya.

"Wiwid, gemoy banget, Wiwid gemoy aku." Seorang anak laki-laki mengudel-udel Widya. "Wiwid punya aku! Hihi! Wiwid muach muach muach!"

Widya yang diudel-udel, semacam squishy, jelas merasa tak nyaman, hingga akhirnya menangis.

"Ibuuuu, Farhaz nakalin aku!"

"Ulululu gitu aja nangis." Farhaz kecil malah mengeratkan pelukannya, mencubiti pipi Widya, jelas itu membuat sakit sang empunya.

"Huaaaa Ibuuuu!"

Itu mimpi buruk.

"Lama gak ketemu, Wid. Masa lo gak inget gue, si ganteng kesayangan Emak lo." Si pria dengan tengil menaikturunkan alisnya.

"Maaf, kamu salah orang, saya bukan Wiwid." Widya tak mau bersama pria itu, dia jahat tukang bully, dia tak pernah menyayangi Widya melainkan hanya menyiksanya.

"Aaaah, masa sih? Gak mungkin salah orang, orang lo mirip banget sama Emak lo, Wid, Wid. Dia Widya kan?" Dia, yang jelas sekali Farhaz, bertanya dengan pria yang dia keteki.

Namun, dia tak menjawab.

"Heh! Jawab, Njing!" Dia memperat japitannya membuat si pria kesakitan.

"Iya, saya Widya, saya Widya!" Akhirnya, karena tak tega, Widya mengakui. "Tapi bukan Wiwid, kamu salah orang." Widya tetap teguh pendirian. "Lepaskan karyawan saya, dan tolong keluar dari sini, atau akan saya panggilkan--"

"Pak Penghulu?" Si pria memutus dengan seringai meresahkannya. Kedua teman sangarnya tertawa.

"Saya enggak main-main." Widya dengan emosi mengeluarkan ponselnya. "Satu ...."

"We santai, santai." Ia menyerah, melepaskan cengkeramannya. "Jangan lupa, nanti kita ada urusan, dan Wiwid ...."

Widya membuang wajah kesal, Rachita yang melihat sendu, sang wanita seakan menahan tangisan.

"Kutunggu cintamu, Zeyeeeeng."

"Eyaaak." Dua premannya menyahuti seraya tertawa, mereka haha hihi meninggalkan mereka tanpa peduli sekitaran. Sungguh, tak ada yang berani berkutik.

Mau tak mau, karena peristiwa tersebut, acara makan-makan mereka kacau, di sisi lain mengurus sang karyawan yang berurusan dengan utang serta melindunginya dari para rentenir, sedang di sisi Rachita ....

"Bu, saya takut banget, saya takut!" kata Widya, memeluk Rachita erat, kini hanya ada mereka berdua di dalam mobil.

"Widya, tenanglah, memangnya ... kamu mengenal pria itu?"

Dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa trauma, Widya mendongak menatap menantu atasannya. "Bu, dia ... pem-bully masa kecilnya. Namanya Farhaz, anak tetangga yang nakal, dia suka ngudel-ngudel aku kayak bakpau, sakit Bu, sakit banget." Widya menceritakannya sambil terisak.

Rachita sebenarnya berpikir, mungkin Farhaz itu, gemas melihat penampilan Widya yang memang kelihatan sangat imut, tetapi tak seharusnya demikian. Kadang hal yang menyakiti tak disadari anak-anak, itu bisa menimbulkan trauma, inilah ada keharusan orang tua mendidik anak yang masih belum banyak memahami emosi sekitar.

"Aku takut, Bu, dia pasti ngejar-ngejar aku sekarang. Dulu, karena hal ini, aku pindah dari desa, tapi gak nyangka dia ... di sini."

"Widya, kamu tenang saja, kami semua akan ngelindungin kamu." Rachita berusaha menenangkan wanita tersebut. "Jangan khawatir, oke?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Bos Gemoy Gue ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang